PROLOG: Melihat Malaysia dengan rupa yang teduh, saya melancong ke Cameron Highlands. Berselancar di atas permadani beraroma daun teh warisan kolonial dan imigran.
1/ Dataran Tinggi Malaysia
Gerimis menyambut ketibaan saya di Tanah Rata. Suhunya sekitar 14 derajat celcius. Saya kebelet pipis. Pun lapar. Usai menempuh lima jam trip dari Kuala Lumpur.
Saya bergegas ke tandas. Toiletnya bersih. Lumayan lah untuk fasilitas umum di terminal bas. Sekembali dari toilet, di lorongnya, ada papan informasi wisata Cameron Highlands. Saya ambil beberapa brosur untuk mempelajarinya.
Siang sudah berlalu. Oh, ya, ini hari Jumat.
Sewaktu Jumatan tadi, saya masih terperangkap dalam perjalanan membosankan di lintasan Lebuhraya Utara-Selatan yang berliku nan mulus. Setiap mengintip keluar jendela bus, hanya tampak perkebunan sawit dan sesekali terlihat bukit.
Saya musafir. Dalam kondisi ini, selain boleh meninggalkan salat Jumat, saya pun bisa menjamak salat fardu. Bonus bagi seorang moslem traveler.
Di terminal ini, sejalur dengan toilet, ada foodcourt kecil. Saya pilih gerai yang pemiliknya berwajah Melayu—juga memastikan makanannya halal. Jatuhnya ke kantin Fara Taste.
Saya santap nasi lemak + ayam goreng dan secangkir teh hangat. Ini menu sederhana favorit saya ketika melancong ke Negeri Jiran. Harganya tak sampai 10 RM.
Hujan belum reda. Untungnya saya pergi dengan seorang perempuan—istri tepatnya. Kami bisa “menciptakan kehangatan” kapan saja.
Kami duduk di teras kantin. Menghadap jalan besar Tanah Rata. Di sebelah kanan jalan, restoran bergaya Arab, India, dan Eropa nyempil di antara kedai bernuansa Melayu.
Beberapa kali Jeep 4WD melintas di jalan, menarik perhatian saya. Itu pasti salah satu mobil yang bisa disewa turis, seperti tertera di brosur wisata.
Hampir satu jam berlalu, kami khawatir akan kelamaan sampai ke penginapan. Letaknya sekitar 1 km dari terminal. Sementara lelah dan kantuk terus merongrong jiwa.
Payung tak kami bawa. Akal-akalan, kami menyampaikan perihal ini kepada Makcik penjual di Fara Taste.
Istri saya menanyakan dimana ada jual payung atau jas hujan sekitar sini. Ia tak tau pasti. Tapi Makcik itu malah menawarkan payung miliknya untuk kami pakai.
“Sampai bila awak stay kat sini?”
“Sampai Ahad.”
“Oh, Ahad. Saya baru start keje hari Isnin. Payung ni awak pakai je, bila awak nak bagi balek, awak bagi dekat makcik tu je.”
Dia menunjuk seorang Makcik keturunan India—nampaknya pemilik foodcourt.
“Awak tak nak balek kan pon tak pe, bawa balek je ke Acheh.”
Saya melihat senyumnya yang tulus. Sebagai tanda terima kasih atas kebaikannya, saya meminta dia untuk berfoto bareng.
Mengacu pada navigasi Google Maps di smartphone, kami kemudian menapaki jalur pedestrian menuju KRS Pines; homestay yang sudah kami book beberapa hari sebelumnya.
Saya melihat-lihat ke sekitar. Distrik ini berada di antara perbukitan dengan rumah-rumah di lerengnya. Pikiran saya terasosiasi ke Tanah Gayo, dataran tinggi di Aceh. Geografisnya serupa.
>> Penemuan Cameron
Cameron Highlands salah satu dari 5 dataran tinggi di Negara Bagian Pahang, Malaysia. Ia dikenal sebagai pusat peristirahatan terbaik di Semenanjung Malaysia sejak ditemukan pertama kali pada 1885.
Sir William Cameron, kartografer British, menemukan dataran tinggi ini saat memetakan sebuah area utusan Kerajaan British pada masa pendudukan Inggris.
Dalam ekspedisi bersama asistennya Kulop Riau, dari puncak Gunung Pondok Challi, Cameron melihat sebuah dataran tinggi yang berada di antara 1.340 – 1.800 mdpl. Namun dia gagal memberikan tanda yang tepat untuk lokasi itu.
Cameron meninggal tak lama kemudian. Jejak ekspedisinya pun raib.
Empat puluh tahun berselang, ekspedisi dilanjutkan atas perintah Sir George Maxwell, sampai dataran tinggi itu ditemukan. Nama sang explorer pertama ditabalkan di Dataran Tinggi Cameron.
Daerah berjuluk Darul Makmur ini memiliki 6 kota kecil: Ringlet, Brinchang, Tringkap, Kuala Terla, Kampung Raja, dan Tanah Rata.
Nama terakhir adalah pusat kotanya, tempat kami meringkuk dalam kamar homestay yang dingin seperti di kulkas.
Sudah sore, hujan masih mengguyur. Tiduran di kasur terasa seperti rebahan di atas batangan es. Selimut tebal tak mempan.
Saat-saat begini, saya kesal pada diri saya yang membatalkan niat membawa sleeping bag. Padahal saya sudah berancang-ancang memasukkannya dalam tas carrier.
Jadi, nikmati sajalah momen ini.
2/ Kebahagiaan Peninggalan British
Wuih. Suasananya seperti di Switzerland. Mantap.
Dimananya tu Makmur?
Seorang teman yang pernah tinggal di Eropa mengomentari story Instagram saya.
Saya bagikan foto on the spot dari sebuah café di tengah perkebunan teh.
Beberapa follower lain juga penasaran menanyakan kami sedang dimana.
Baiklah. Kami sedang menyesap teh di ruangan JA’s Balcony Café yang disesaki turis. Dari dalam ruangan kaca ini, kami terpukau oleh suasana dan panorama sekitarnya.
Saat menapaki tangga menuju café ini tadi, ia tampak menjorok ke udara di sebuah puncak bukit milik BOH Plantations Sdn Bhd. Ia bagai gondola yang hendak lepas landas.
Pengunjung menyemut berebut giliran memesan menu terlezat. Sementara semua meja dipenuhi pelancong dari berbagai negara. Saya harus tunggu sebentar sampai ada meja yang ditinggalkan pengunjung.
Tepat di meja pada tepi café ini, kami menyaksikan pemandangan yang takkan terlupakan dari benak.
Betapa tidak. Di hadapan kami, perkebunan teh membentang sampai batas akhir memandang.
Hanya ada “terpal hijau bergelombang” dipayungi gumpalan awan yang berlari di kaki langit biru cerah. Udara sejuk memeluk ketenangan tempat ini.
Sudah begitu, makanannya pun nikmat. Saya menyesap secangkir teh BOH tarik kurang manis halia panas dan Chicken Pie. Istri saya mencoba teh English Breakfast dan Choco Rolls Croissant. Tentu saja, saya melihat senyumnya yang bahagia.
Di kanan kami, ada jembatan tajuk yang mengantar para turis ke café serupa di sebelahnya. Namanya Tristan’s Terrace; rupanya baru diresmikan tiga bulan sebelumnya. Ia semacam sayap untuk pendahulunya yang dibuka untuk umum pada 2007 silam.
>> Kenapa namanya JAs Balcony?
Saya pun penasaran.
Rupanya, JA akronim dari John Archibald ‘Archie’ Russel. Ia penemu dan pendiri perkebunan Teh BOH di Cameron Highlands. Putra seorang petinggi militer British di Malaysia. Sedangkan Tristan, nama putra JA Russel yang meneruskan bisnisnya.
Russel dikenal pemberani. Tahun 1929, ia membuka kebun teh bersama AB Milne, petani veteran dari Sri Lanka. Nama BOH terinspirasi dari kata “Bohea”, nama bukit di Provinsi Fujian, China.
Di bukit terkenal dengan nama Wuyi Hills itu, pertama kali ditemukan tanaman teh oleh Dewa Shennong pada masa Dinasti Han—menurut mitologi Tiongkok.
Dalam bahasa Mandarin, ‘Boh’ artinya kebahagiaan.
Namun JA Russel butuh perjuangan berat sebelum berhasil membahagiakan orang dengan teh. Ia memulai bisnis kebun teh saat masa Great Depression. Sementara anaknya, Tristan, harus mempertahankan usaha ayahnya itu saat pendudukan Jepang.
Kebahagiaan sungguhan mulai dirasakan keluarga Russel usai Malaysia meraih kemerdekaan. Semerbak aroma teh BOH pun kian merebak.
Baca juga hasil perjalanan Safariku menikmati sedapnya Teh BOH ini. Rasanya: Ummph!
Total saat ini, perkebunan teh BOH memiliki luas total 8.000 ha di Cameron Highlands. Menjadi kebun teh terbesar di Asia Tenggara. Tersebar di tiga titik: Habu, Fairlie Tea Garden dan Sungei Palas Tea Garden di Brinchang.
Sungei Palas, tempat kami menikmati peninggalan Russel kini, menjadi destinasi paling diminati turis yang berkunjung ke Cameron. Selain café, di sini tersedia tea & souvenir shop, dan pabrik teh di tengah-tengah perkebunan.
Keluar dari Tristan’s Café, kami masuki toko teh di dekat pintu masuk. Ada banyak produk yang diolah dari hasil perkebunan teh BOH. Pengunjung boleh mencicipi gratis beberapa varian Teh BOH kemasan yang diseduh staf mereka.
Para pengunjung antri mencoba. Pun saya. Demo minum teh hitam ini berhasil membuat kami memutuskan untuk beli beberapa oleh-oleh: ragam bubuk teh BOH.
Keluar dari tea shop, kami melihat museum mini yang memaparkan sejarah perkebunan teh BOH, lalu masuk ke pabrik di seberangnya. Kami melihat langsung proses pembuatan teh—sayangnya pengunjung dilarang ambil dokumentasi.
Namun, sampai detik ini, terbayar sudah perjalanan membosankan yang saya alami ketika bepergian dari KL ke CH naik bus kemarin.
3/ Tea House Warisan India
Daerah dingin juga ya? Ada mainan untuk anak-anak?
Kawan saya bertanya lagi via Instagram. Tentu saja dingin dan cocok untuk liburan keluarga.
Pulang dari Boh Tea Centre Sungei Palas; selagi mengendarai matik yang kami sewa di Tanah Rata, melalui Jalan Sungei Palas yang meliuk-liuk di tengah perkebunan teh, kami berdiskusi objek apa saja yang akan disinggahi berikutnya.
Setelah hampir setengah jam berbuntutan dengan pelancong lain, kami tiba di pusat Kota Brinchang. Sambil balik ke Tanah Rata, kami akan menelusuri beberapa titik yang cocok didatangi segala umur. Ini juga referensi bagi yang ingin membawa keluarga.
- Taman Lebah
Kami singgah di Taman Lebah Ee Feng Gu. Di sini pengunjung tak dikutip biaya seringgit pun. Bebas mengeksplor seisi tempat. Saya tertarik dengan taman peternakan madu di bawah sana.
Kami turuni beberapa tangga untuk mencapai ladang lebah. Kotak Lebah—tempat peternakan—memenuhi sela-sela tanaman. Tak hanya lebah jinak yang berkelindan, kupu ragam motif dan warna juga membuat pengunjung terlena.
Taman Lebah Ee Feng Gu dilengkapi pusat perbelanjaan. Ada gerai yang menjual ragam oleh-oleh khas terbuat dari olahan madu. Baik itu parfum, kosmetik, dan lainnya. Ada juga foodcourt.
- Taman Strawberi
Keluar dari Taman Lebah, kami melipir ke EQ Strawberry Farm. Di sini pengunjung bisa melihat kebun stroberi gratis. Kalau ingin memetik sendiri, dikenakan biaya masuk ke kebun sejumlah ?? RM. Tapi kami milih lihat-lihat saja dari luar pagar.
- Cameron Valley Tea House
Dari Taman Strawberi, kami tidak singgah ke tempat lain. Tapi langsung balik ke Tanah Rata. Bergegas ke Ringlet. Tujuan kami mengunjungi Cameron Valley Tea House. Perkebunan teh kedua terbesar di Cameron Highlands. Milik Bharat Group.
Ada tiga titik Cameron Valley Tea House, kami menyambangi titik pertama. Letaknya di KM 34, tepi lintasan Jalan Tapah – Cameron Highlands. Ini merupakan tea house pertama yang dibuka pada 2002 oleh Bharat Group.
Kami menepi. Tea House (semacam kedai teh) ini menghadap lembah dipenuhi kebun teh. Ia menggantung di depan gerbang masuk Bharat Tea Factory.
Sejumlah atraksi ditawarkan kepada pengunjung. Ada Safari Tour dengan mobil 4WD, memetik teh di kebun, walking tour, dan ATV tour, yang semuanya berbayar. Karena sudah jam 5 lewat, kami memilih ngeteh di Tea House saja.
>> Teh Perjuangan Pemuda India
Kami memilih meja yang leluasa menatap lembah dengan signature Cameron Valley Tea di satu bukit. Tulisan putih macam Hollywood di California itu menyembul di atas permadani hijau.
Irisan awan Stratocumulus berlari cepat di atas perbukitan ditumbuhi teh nan lebat. Sementaran gumpalan Nimbostratus berigsut di kaki langit.
Seketika, pelayan menjamu kami dengan setalam berisi teko dan dua cangkir kosong, plus cangkir berisi susu cair dan gula. Lalu tinggal kami seduh sendiri.
Asap mengepul dari lubang teko. Segera saya tuangkan teh ke dalam cangkir keramik, disusul istri saya yang mencampurnya dengan susu.
Pengunjung tidak terlalu rame. Mungkin karena sudah sore, selain kapasitasnya barangkali sekitar 100 orang saja. Kami pun mendapat suasana lebih quite. Tenang dengan pemandangan di depan yang mempesona.
Saat memotret cangkir ini, saya melihat logo Cameron Valley Tea sisi cangkir. Rupanya, Cameron Valley adalah nama brand kedua yang diluncurkan Bharat Group pada tahun 1994. Brand ini menyusul pendahulunya, Chop Rusa, yang dirilis tahun 1952.
Ketika Shuparshad Bansal Agarwal imigran asal India Utara membangun legasi awal Bharat Group pada 1933, mereka mungkin menjadi kompetitor Boh Tea dalam bisnis kebun teh. Dengan berani, Shuparshad membeli lahan milik kolonial Inggris untuk memulai tanam perdananya.
Di tahun pertama, Bharat langsung berhasil menjual komoditas daun tehnya.
Namun nyaris seperti kisah JA Russel, tak lama usai membangun bisnisnya, Shuparshad meninggal.
Usahanya dilanjutkan saudaranya hingga putranya Brijkishore Agarwal kembali dari studi di India. Di usianya ke 20 itu, ia membangun kembali bisnis teh Bharat Group.
Bharat turut berkontribusi kepada Malaysia saat PD II ketika diduduki Jepang. Sampai-sampai, Sultan Malaysia memberikan gelar Dato Sri kepada Brijkishore pada 1965 atas jasanya. Putra Brijkishore kemudian menyambung estafet bisnis tehnya di Cameron.
Sore ini, kami menikmati hasil kerja keras keluarga Shuparshad yang sudah berjalan empat generasi. Menikmati suasana afternoon tea yang syahdu, terpaut 1.868 km dari biasanya kami menyesap teh sore.
>> Rekomendasi Atraksi Family Friendly
Selain kebun teh, taman lebah dan stroberi, Cameron Highlands sebagai pusat agrowisata di Pahang ini juga memiliki ragam atraksi wisata family friendly. Rekomendasi ini baik untuk yang berencana membawa keluarga kesini.
Cameron Highlands Butterfly Farm (taman kupu-kupu), Rose Centre (taman mawar), Cactus Point (taman kaktus), dan Muzium Time Tunnel (museum sejarah).
View this post on Instagram
Tips Safariku Cameron Highlands
1) Tour. Pilihlah paket tur jika Anda pergi bareng keluarga. Ada varian paket yang dijual oleh berbagai tour operator dan travel agent. Kisaran harga mulai dari 21 RM – 80 RM.
2) Rent. Jika pergi berdua (pasangan/teman), kami sarankan untuk sewa sepeda motor dan mengeksplor sendiri. Tarif sewa motor sesuai dengan paket. Untuk 4 jam 30 RM, 6 jam 40 RM, 8 jam 50 RM, dan 24 jam 80 RM. Ini tarif dari tempat kami sewa, CS Travel & Tour di Tanah Rata. Harga bisa berbeda di operator lainnya.
3) Makan. Ada banyak gerai makanan berlabel halal. Berada di kedua sisi Jalan Besar Tanah Rata. Mau masakan Melayu, India, Arab, China, ada. Kecuali mencari masakan seperti di daerah asal. Sekali makan di restoran, kami menghabiskan 30 – 40 RM.
4) Belanja. Convenience store mudah ditemui di Tanah Rata. Mau beli cemilan, bekal sarapan pagi, kebutuhan pribadi seperti sandal jepit, ada sejumlah gerai toko retail modern. Toko souvenir juga banyak.
5) Akomodasi. Penginapan di Tanah Rata umumnya berupa homestay atau guest house. Ada juga resort dan hotel. Ada yang bergaya Tudor, Jepang, Melayu, dan rumah biasa. Harganya mulai dari 30 RM – 600 RM.
6) Transportasi. Perjalanan ke Cameron Highlands dari Kuala Lumpur dapat ditempuh dengan bus. Tersedia setiap hari di beberapa terminal berbeda. Tarifnya mulai dari 25 RM – 35 RM. Selain dengan bus, Anda bisa pergi dengan menyewa mobil di KL atau dengan teman yang tinggal di KL. Selain itu Anda bisa booking taxi. Tak ada kereta, apalagi penerbangan.
7). Booking. Saran kami, jika sudah memastikan tanggal liburan, sebaiknya Anda booking penginapan dan transportasi jauh-jauh hari agar dapat harga lebih murah dan mengamankan seat. Untuk bus, boleh book via easybook.com atau 12go.asia. Sedangkan penginapan, Anda boleh memilih di berbagai situs bookingan hotel.
By Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu