Hari ketiga Famtrip Rentak Selangor, saya dibawa ke Pulau Carey di Distrik Kuala Langat, Selangor. Melihat kehidupan orang asli tertua, Mah Meri.
Saya rancak sekali. Sebab sakan ke pulau dan bertemu dengan orang-orang suku asli.
Saya juga akan melihat orang Mah Meri menari di pantai. Betapa asiknya!
Dari Damansara, Distrik Petaling, Bas Pasiaran—bis pariwisata—yang menjadi armada untuk peserta Famtrip Rentak Selangor, hanya butuh waktu satu jam saja untuk sampai ke tujuan.
Mula-mula bis melewati jalan yang diapit gedung pencakar langit, hingga jalan desa yang diapit perkebunan sawit. Sampai akhirnya berhenti di pusat Kampung Budaya Mah Meri, di Kampung Sungai Bumbun.
Itu hari Sabtu. Akhir pekan yang mendung di wilayah barat Malaysia.
Tapi segera saja, lima perempuan Mah Meri berdiri di pintu gerbang masuk Kompleks Pusat Kraf Orang Asli.
Baju terbuat dari kulit kayu terap dan aksesoris rajutan daun nipah memenuhi sekujur tubuh mereka. Wajah dimake-up.
Orang asli yang modern. Amboi.
Satu-persatu, rombongan trip dipakaikan mahkota Bunga Moyang di kepala. Saya pun dengan senang mengenakannya. Benar-benar atraksi wisata budaya yang saya ingin lihat.
Di halaman rumah kayu yang lebat dengan rumput hijau, kelima perempuan itu mengikuti Tok Batin, Ketua Kampung Sungai Bumbun, melakukan ritual penyambutan tamu.
Tok Batin, di hadapan sesembahan bernama panga, memimpin doa. Saya mendengar satu bahasa baru dari mulut pria itu. Bahasa khas Mah Meri. Yang kami semua tak mengerti.
“Dalam upacara tadi, saya mendoakan keselamatan Tuan/Puan sampai di kampong ini,” jelas Tok Batin, sekejap kemudian.
Dia saat berpidato di hadapan rombongan, di kolong rumah panggung, bertutur dalam Bahasa Melayu. Mereka bercakap bahasa asli dengan sesama suku Mah Meri saja.
Di Pulau Carey, suku Mah Meri tersebar dalam 5 kampung. Kata Tok Batin, Sungai Bumbun adalah kampung yang masih melestarikan betul kebudayaan orang asli, sesuai amanah para moyang.
Setidaknya hidup rukun 500 jiwa dari 90-an keluarga di Kampung Sungai Bumbun, dengan satu sekolah untuk memajukan pendidikan generasi muda mereka.
“Sekejap lagi kite nak tengok Tari Topeng,” janji Tok Batin.
SEJARAH: Seniman
Pulau Carey, sebuah pulau di barat Malaysia, di Negeri Darul Ehsan Selangor. Ia menghadap Selat Melaka, hanya dipisahkan oleh sungai dengan daratan lainnya.
Saya teringat perkataan Eddin Khoo sehari sebelumnya. Dia Direktur Pusaka, NGO berbasis riset di Kuala Lumpur, yang fokus pada kajian kebudayaan tradisional.
Mah Meri, kata dia, salah satu orang asli dari bangsa Austronesia. Mah Meri suku terbesar dan tertua dari 18 suku orang asli di bagian barat Malaysia. Populasinya saat ini mencapai 4.000 jiwa.
Suatu masa, Eddin Khoo yang berkacamata menatap saya, Mah Meri dikenal sebagai sea gypsis. Orang-orang yang bertahan hidup di laut dan kemudian menempati suatu daratan.
Orang asli itu memiliki tarian khas. Biasa ditampilkan dalam upacara adat. Mereka juga mengenakan pakaian berbahan dari alam: semisal kulit kayu dan dedaunan, yang dibuat dengan tangan.
“They are great artist,” imbuh Eddin Khoo, yang pernah studi pascasarjana di Southeast Asian Art and Archaeology pada School of Oriental and African Studies, University of London.
Sebab itu pula, Pusaka menjadikan Mah Meri sebagai salah satu dari tiga objek proyek pemetaan budaya Melayu tahun 2016, di Malaysia.
RENTAK: Kehidupan
Ketangkasan gerakan Mah Meri bisa saya rasakan ketika mereka menari di depan peserta Famtrip Rentak Selangor. Di bawah rumah panggung.
Satu tim duduk sejajar di lantai. Masing-masing seorang memainkan jule (biola), tambo (drum dua sisi), dan a-tawa (gong berbahan kuningan). Dua perempuan di tengah-tengah mereka, memainkan tuntong—terbuat dari bambu.
Pukulan alat musik tradisional dan modern itu cukup memikat. Tatkala enam penari merentak di hadapan kami. Mereka menari dalam tempo lambat. Kelilingi kraf dari daun kelapa muda menyerupai gunung, bernama pusut.
Saya paling terkesan oleh gerakan dua pria bertopeng berambut gimbal. Moyang Pongkol dan Tok Naning.
Sesungguhnya, merekalah aktor di balik kemasyhuran Mask Dance alias Tari Topeng khas Mah Meri, yang menghentak perhatian dunia.
Moyang Pongkol menari dengan ekspresi konyolnya. Sementara Tok Naning, kerap terkekeh dengan gigi besarnya itu, naik-turun terbuka-tertutup.
Siang itu mereka menari dengan diiringi lagu Sidut, Rera Bunting, Kuangkuat, dan Tok Naning. Semuanya menggunakan bahasa asli Mah Meri.
“Umumnya berisi nasihat dan kisah kehidupan orang Mah Meri,” kata Kak Masna, seorang penyanyi dan pemain tuntong.
Dalam beberapa lagu itu, sebagain peserta famtrip ikut menari dan memainkan alat musik khas Mah Meri. Seakan-akan upacara besar tengah berlangsung: a midday dance party!
Saya sendiri sempat mengenakan Topeng Tok Naning. Dan ternyata, sulit bagi saya untuk terkekeh ala Tok Naning.
KRAF: Kisah
Di balik dua topeng itu, ada dua pria paruh baya. Sazali (36) pemeran Moyang Pongkol dan Alias (40) pelakon Tok Naning.
“Moyang Pongkol itu sifatnya suka menyesatkan orang dalam hutan,” jelas Sazali.
Dalam kehidupan Mah Meri, Moyang Pongkol kerap mengelabui orang di dalam hutan.
Sementara Tok Naning, bertolak belakang. Ia seorang pengutip bekal makanan dengan perutnya yang buncit. Ia selalu membawa gaye’ (bakul) untuk memuat hasil kutipannya.
Usai makan siang bersama, saya tinggalkan Tok Naning dan Moyang Pongkol.
Saya dan peserta lainnya kelilingi Kampung Sungai Bumbun. Kampung itu berlokasi di tengah-tengah perkebunan sawit.
Kraftangan terpajang di semua halaman rumah warga. Hampir semua pria di desa itu mampu mengukir patung dengan variatif. Pun wanita, yang mahir menyulam aksesoris dari dedaunan.
Setiap kerajinan tangan memiliki kisah. Biasanya mengisahkan kejadian-kejadian pada masa lalu yang menimpa moyang mereka.
RITUAL: Animisme
Kami juga diajak melihat Rumah Moyang yang jauh dari pemukiman, di dalam hutan sawit. Tak jauh dari kuala yang bermuara ke Selat Melaka. Tapi tak sempat kami lihat.
Sebuah rumah panggung kecil, dengan sepasang patung harimau di sisi depan, dan ragam pernak-pernik lainnya.
Di situlah, orang asli Mah Meri mengadakan ritual adat. Semisal mengikuti Hari Moyang & Puja Pantai (di tepi pantai) setahun sekali, satu bulan selepas Tahun Baru Cina; ritual menjelang pernikahan warga, dan kematian.
Orang asli Mah Meri tak memiliki agama. Tapi memiliki kepercayaan kepada benda-benda. “Sejak awal adanya Mah Meri kite sudah animisme,” kata Tok Batin, yang nama aslinya Dato’ Sidin (66).
Mah Meri menghormati nenek moyang mereka, dengan melestarikan tradisinya. Dan mereka memang artis yang baik, seperti kata Eddin Khoo.
Tapi saya, belum menemukan pantai di Pulau Carey. Barangkali saya bisa melihatnya suatu kali.
Mah Meri bukanlah satu-satunya daya tarik dari Negeri Selangor. Sebab saya menemukan beberapa pesona ‘Truly Asia’ lainnya di sana. Tunggu saja postingan berikutnya.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
——————————————————————————————————————————————-
Tulisan ini merupakan bagian dari keikutsertaan Safariku.com dalam Famtrip Rentak Selangor di Selangor, Malaysia, selam 1 – 4 Desember 2016. Acara ini ditaja oleh Gaya Travel Magazine, berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Pembagunan Generasi Muda, Sukan, Kebudayaan, dan Pembangunan Keusahawan Selangor, Unit Perancang Ekonomi Selangor, dan Pusaka.
Perjalanan Safariku.com juga disponsori oleh Coffee and Knowledge Management, Ija Kroeng, Cilet Coklat, dan Kedai Kopi Polem. Terima kasih semua.
——————————————————————————————————————————————-
Pakaian sehari2 mereka emang begitu ya?
Coz suku raja ubit yg di nagan raya sudah berevolusi pakaiannya.
Keren mereka masih utuh mempertahankan kearifan lokalnya.
Pakaian sehari2 mereka biasa kaya kita juga. Pakaian tradisi itu hanya dipake saat mengikuti upacara tertentu, saat perform, terutama menyambut kedatangan wisatawan.
Dulu sekali, pada masa awal2 Orang Asli ‘mendarat’ di Pulau Carey, pakaian sehari2 mereka seperti yg dipake waktu tampil di hadapan kami. 😀
Setiap kerajinan tangan memiliki kisah. Biasanya mengisahkan kejadian-kejadian pada masa lalu yang menimpa moyang mereka. >> apakah ada jejak tsunami dari mereka?
btw, menurut info yang saya dapatkan, orang semenanjung malaysia terutama yang berhadapan dengan selat melaka, mereka tak terlalu membanggakan lautnya.. jelek katanya 😀
Belum ada cerita ttg jejak tsunami dalam kehidupan orang Mah Meri. Tapi kraftangan mereka lebih menceritakan kehidupan (misteri) pada masa lalu sesuai dengan karakter kraftangannya, seperti patung ukiran bernama Moyang Harimau Berantai, Moyang Udang, Moyang Katak Kala, Moyang Belalang, dan Moyang Lanjut.
Moyang Lanjut misalnya, ia ada sebab ada cerita pada masa lalu: sepasang suami isteri pergi ke paya (rawa-rawa) untuk mencari ketam. Sang suami kemudian mati di paya, hingga si istri menangis dan meratapi kematian kematian sang suami. Si istri menangis sampai mati lalu menjadi roh Moyang Lanjut.
Dalam literatur kebencanaan pun, saya belum menemukan adanya sejarah tsunami di Selat Melaka dan dekat dengan wilayah Barat Malaysia.
Pertanyaan terakhir itu, I tak boleh respons kat sini. 😀