Ketika di Pulo Nasi, di manakah spot terbaik menanti matahari tenggelam? Tentu tidak di Pantai Deumit yang merupakan tempat menunggu sunrise.
[hr style=”bar”]
“Di Pasi Janeng bagus,” sahut Bang Salman, team leader kami, yang sudah berkali-kali ke Pulo Nasi.
Tetapi, sore pertama di sana, kami tidak ke Pasi Janeng. Melainkan bergerak ke ujung selatan Pulo Nasi. “Di sana ada mercusuar,” jelas Bang Salman lagi.
Wah, bikin saya makin penasaran, bagaimana rupa Mercusuar Pulo Nasi. Selama ini, saya cuma mendengar dan melihat Mercusuar William’s Torrent di Pulo Breueh walau saya juga belum pernah ke sana.
Kami menyusuri jalanan lebar beraspal mulus dari Deumit. Menanjak dan berkelok. Berhenti sejenak di ketinggian jalan berbentuk huruf S.
Garis datar samudera membelah lanskap di depan mata kami. Setengah ke bawah bagai permadani biru yang tergelar tenang. Setengah ke atas terpampang kanvas putih dengan sedikit lukisan berupa daratan Kota Banda Aceh.
Roda motor selanjutnya melibas jalanan Desa Deudap, meninggalkan Desa Rabo. Kami menuju ujung timur desa ini. Memasuki jalan setapak kebun kelapa yang tumbuh di daratan tinggi. Saya melihat sebuah teluk kecil yang diapit dua tanjung dengan tebing-tebing menjulang.
Mercusuar tegak di puncak tanjung bagian utara. Sementara kami sudah turun ke pantai di selatannya. Menyelinap di antara batuan-batun aneh. Batu-batu yang “didesain” seperti bekas besi tua, bagai puing-puing kapal yang berkarat. Saya merasakan tajamnya permukaan batu itu ketika bersandar. Namun ini cukup menjadi objek menarik untuk berpose.
Perlahan, matahari bergeser di barat, di samping bukit. Pada sebuah batu besar di bukit itu, tiga remaja putri Pulo Nasi sedang wefie dengan ponselnya. Mereka tidak tampak canggung karena saya memandang dari bawah, dari jarak, mungkin 50 meter. Hm…
Meskipun ada warga lokal, saya merasakan ini tempat yang asing. Jelas dong, sebab ini pertama kali saya terdampar di sini.
Ketika Rinaldi Ad dan Ikbal Fanika larut dalam golden time sunset, saya, Cek De, dan Ampon, digiring Bang Salman ke puncak Mercusuar Pulo Nasi.
Sedikit menyelinap di antara semak-semak dan bibir tebing, sampai saya melihat mercusuar setinggi (mungkin) 10 meter berkaki beton persegi, dengan diameter barangkali hanya dua pelukan orang Indonesia dewasa. Tetapi saya tak temui celah untuk bisa menaiki mercusuar telanjang ini. Ia sepertinya didesain bukan untuk fungsi menara pantau, tetapi sebagai penagkap sinyal energi tatasurya. Kami melihat beberapa alat penangkap sinyal di ujung menara.
Di depan mercusuar, terbentang tanjung dengan kontur yang unik. Permukaan tanah ditumbuhi rumput hijau lebat. Sekelilingnya dipagari susunan batu seumpama prajurit perang melindungi pangeran dalam peperangan merebut wilayah kekuasaan. Persis seperti ketika Pangeran Jingim yang terkena tembakan mesiu lawan di serial Marco Polo, episode 10, Season 1, jika Anda sudah menontonnya. Namun sore itu, sayalah pangerannya. Ups!
Debur ombak mendebam menerpa dinding tebing. Sekali-kali tempias terbang melampauinya dan membasahi rerumputan di Mercusuar Pulo Nasi. Namun, kami merasa aman, tidak takut tersandung dan terjun ke lautan yang dalam. Hanya proses merekam gambar terhambat, angin bertiup kencang.
Saya dan Ampon asik dalam rekaman lensa kamera yang bergantian, sementara Bang Salman-Cek De berbaring di rerumputan, dan Rinaldi-Ikbal entah di mana. Tapi kami semua menikmati keterasingan di ujung Pulo Nasi, dalam remang-remang cahaya matahari yang hampir tenggelam.[]
Writer : Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
2 thoughts on “Seru-seruan di Mercusuar Pulo Nasi”