SEMINGGU jelang keberangkatan ke Australia, saya muat koper dan tas untuk tinggal di sana lebih dari satu bulan. Musim dingin akan segera selimuti benua tujuan perjalanan saya. Tentu, butuh penghangat tubuh.
Pakaian semisal longjhon, beanie dan sarung tangan saya belanjakan di Jakarta. Saat memuat semua kebutuhan winter ini dalam koper kecil, mendadak saya berdiri mematung, teringat pada sehelai syal baduy.
Apakah syal baduy hanya sekadar cinderamata?
Agustus 2013. Saya menghabiskan waktu seminggu di Banten dalam ajang pekan olahraga antarkampus.
Satu hari menjelang pamit, saya datangi penjual suvenir khas setempat. Usai membeli gantungan kunci, saya terpaku pada syal warna-warni dengan motif geometris. Kain itu didominasi merah diapit biru laut pada kedua tepinya. Bintik-bintik kuning emas memenuhi bagian tengah, tampak elegan oleh strip hitam kecil.
Beli, tidak? Saya membatin.
Saya ambil satu. Sebagai kenang-kenangan. Setidaknya saya berhasil bawa pulang cinderamata untuk diri saya sendiri setelah gagal raih medali. Semata-mata untuk melipur lara.
Empat bulan kemudian, saya bertandang ke Jakarta. Di ibu kota, seorang kenalan baru asal Garut, Jawa Barat, ajak saya main-main ke kampung halamannya.
Garut pasti kawasan dataran tinggi, tentunya akan dingin. Saya ubek-ubek isi ransel. Untung, syal baduy ada di dalamnya, terlipat rapi. Ajakannya pun saya terima. Tak sabar ingin mencoba kain tradisional Indonesia. Lekas copot statusnya sebagai cinderamata!
Syal baduy ternyata cukup membantu saya selama di Garut. Ia menghangatkan tubuh saya saat mendaki Gunung Ngaro Kidul untuk melihat Gunung Piramida (Gunung Sadahurip) dari dekat, naik ke Kawah Darajat di bahu Gunung Cikuray, maupun sekadar jalan-jalan di persawahan Wanaraja.
Karena saya anggap mempan, syal itu pun mulai menjadi teman perjalanan ketika tahun berganti. 2014. Tahun ini penuh memori kaki bagi saya. Seiring hobi jalan yang meningkat drastis, kebutuhan travel kits juga bertambah.
Lebih-lebih, saat bekerja untuk satu majalah pariwisata lokal. Seringnya saya keliling daerah. Survei ke pantai, masuk ke hutan, dan menyeberang laut ke pulau.
Syal itu terkadang saya jadikan pelindung kamera dari tempias ombak dan cuaca dingin. Juga saya siapkan guna menghentikan kucuran darah kalau-kalau terluka parah selama di hutan—siapa tahu.
Kenapa senang dengan kain tradisional Indonesia?
Selama bepergian, selain syal baduy, saya biasanya bawa sehelai sarung. Dua hasil kerja apik tangan-tangan masyarakat Indonesia ini cukup membantu saya dalam menghadapi berbagai kondisi di luar rumah.
Kedua-duanya dapat menghangatkan tubuh. Sarung bisa dipakai untuk salat, bisa difungsikan sebagai sajadah kalau tidak dikenakan di badan. Pun bisa untuk tidur, bisa dilipat menjadi bantal kalau tidak difungsikan sebagai selimut. Pula kedua-duanya awet karena terbuat dari bahan yang kuat.
Apa kelebihan syal baduy?
Syal baduy salah satu hasil tenun masyarakat adat Baduy yang tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di sana ada dua kelompok yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Menenun merupakan tradisi yang dilestarikan hingga kini. Syal yang saya pakai selama ini hasil kerajinan tangan masyarakat Baduy Luar. Ditandai dengan variasi warna dan ragam hias, tidak seperti Baduy Dalam yang hanya menenun kain polos putih dan hitam.
Tenun Baduy seperti kain tradisional Indonesia lainnya menggunakan kapas sebagai bahan utama. Kapas dipintal menjadi benang kemudian ditenun dengan alat dari kayu yang juga dibuat sendiri oleh masyarakat Baduy.
Syal baduy yang berbahan kapas tentu lebih kuat bila dibandingkan kain berbahan nilon. Kapas juga termasuk serat alami yang berkarakter lentur, lembut, dan mudah menyerap air. Pun kain yang terbuat dari kapas bersifat menghangatkan.
Alasan itulah yang bikin saya selalu sertakan syal baduy setiap traveling. Termasuk saat (akhirnya) memutuskan membawanya ke Melbourne, Mei 2015.
Kemana dan bagaimana syal baduy bisa sangat berguna bagi saya selama di Australia?
Sore pertama di Carlton, Melbourne, saya susuri Lygon Street di depan apartemen. Berjalan di antara cafe-cafe dalam kawasan Little Italy. Dedaunan London Plane kuning kemerahan yang mirip mapel, beterbangan di jalur pedestrian. Saya masukkan tangan ke saku. Dan mengencangkan syal baduy yang melilit leher.
Langkah saya berhenti di Agrlye Park, sebuah taman di ruang terbuka hijau. Beberapa orang bersantai di bangku. Kawanan burung camar laut memeriahkan suasana “perkenalan” saya dengan Australia.
Syukur, saya bawa syal dari Indonesia. Hingga berhari-hari kemudian, termasuk selama berlangsungnya suatu pelatihan yang saya ikuti, syal baduy cukup menghangatkan.
“Kamu harus rapatkan lilitan syal di leher. Dengan begitu, bagian tubuh lainnya akan ikut hangat.”
Begitu kata Deborah, seorang host saya di Melbourne. Ya, kunci sederhana melawan cuaca dingin ialah dengan mengencangkan syal di leher. Maka bagian tubuh lain tak perlu dibalut dengan berlapis-lapis jaket.
Saya baru beli syal baru setelah dua minggu di Melbourne, ibu kota Negara Bagian Victoria. Supaya tak terkesan jorok kenakan syal yang itu-itu saja ada cadangan ketika syal baduy kotor.
Pengalaman saya di Negeri Kangguru, syal baduy gampang dibawa kemana saja. Jika sedang tak perlu memakainya, dengan mudah saya bisa melipatnya lalu masukkan dalam saku atau tas kecil.
Ketika kembali ke Tanah Air, saya sadar. Jangan anggap sepele sekecil apapun benda yang kita miliki. Ia akan sangat berguna suatu saat dan kita harus menghargainya.
Kepada masyarakat Baduy, saya ucapkan terimakasih.[]
Writer: Makmur Dimila
Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
One thought on “Semangat Traveling dari Syal Baduy”