Perjalanan dari Jakarta ke Banda Aceh, aku kira, lumayan lama memakan waktu.
Aku pun memilih terbang dengan Garuda Indonesia: cepat, nyaman, dan bisa mengisi waktu tiga jam on board untuk nonton atau membaca buku kesukaan.
Ini menjadi pengalaman pertamaku ke Aceh. Aku mendapat undangan dari penyelenggara sebuah event di Kota Banda Aceh.
Menyebut nama Aceh, aku membayangkan hukum syariat islam yang sedang dijalankan di sana.
Bagaimana ya rasanya melancong ke negeri syariat islami ini? Katanya ada hukum cambuk, apakah aku sebagai wisatawan juga dirajam kalau melanggar syariat di Aceh? Ketika misalnya non-muslim ke Aceh, apa juga berlaku hukum yang sama?
Aku duduk di kursi dekat jendela, dengan harapan dapat melihat Banda Aceh lebih leluasa saat mendarat nantinya.
Setiap naik maskapai plat merah ini, aku sempatkan menikmati hiburan pada monitor di belakang kursi penumpang di depan, meski sekedar mengecek film terbaru; atau membaca inflight magazine, Colours.
Ketika aku sedang larut membaca cerita Morotai di rubrik Archipelago, pesan masuk di WhatsApp sedikit mengusik. Ternyata pesan penting, dari event organizer di Aceh.
“Salam Mas, sdh flihgt kah? Kmi mw update, Mas nginapnya d Hotel Kyriad ya, kmi menunggu d bndara yah. See you n save flight ya.”
“safe”
Kyriad? Memangnya ada hotel brand asing di Aceh?
Aku searching di laman Google. Beberapa berita dan postingan media sosial menjawab keraguanku.
Kyriad Muraya Hotel Aceh ternyata sudah soft launching pada November lalu. Ini hotel bintang tiga dan chain hotel internasional pertama yang berdiri di Banda Aceh.
Waw! Nice.
Aku tertegun. Hotel dengan brand asing sudah bisa beroperasi di Aceh, artinya iklim investasi di Aceh sudah aman. Apalagi Kyriad adalah brand dari grup perhotelan global Louvre Hotels Group, asal Perancis, negara tetangga tanah kelahiranku.
So it’s mean, tadinya aku termakan persepsi. Sejauh ini aku berasumsi, syariat islam di sana tentu tak seekstrem yang aku baca dan nonton di media massa.
“Mas, mas…” seorang perempuan memupus ekspektasiku.
“Mas, aktor, kan? Boleh minta foto bareng, Mas?”
Perempuan berkerudung yang duduk di sampingku ini seketika mengeluarkan smartphone, aku hanya bisa tersenyum. Tanpa menyahut, aku langsung menatap ke arah lensa dengan sedikit membungkukkan badan.
Cekrek! Cekrek!
Dia mengucapkan terima kasih. Aku membalas dengan senyum, dan, kembali ke bacaan.
***
Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blangbintang. Jam menunjukkan pukul 09.25 wib.
Hari ini, Sabtu. Lalu-lintas di bandara padat. Hiruk-pikuk sebagai destinasi wisata cukup terasa. Aku melenggang masuk. Beberapa orang di bandara menatap lama dan tampaknya ingin menyapaku. Beberapa berhasil menyebut namaku hingga aku disambut panitia.
***
Manajemen Kyriad Muraya Aceh menyambut aku dengan spesial di lobi hotel. Bapak GM, Bambang, langsung menuntun kami untuk menikmati welcome drink di ruang VIP lobby. Kemudian, kami bertukar cerita.
Aku menginap di Kamar Deluxe 208, lantai dua. Di kamar dengan desain ruang yang rapi itu, aku langsung rebahan sejenak, sebelum mengisi konferensi pers di Daud Terrace Cafe dengan awak media.
“Hi Honey.. Am already in banda aceh n happy 2 be here. Love u ;)”
Senang akhirnya tiba di Aceh dan aku mengabarkannya kepada istriku. Aku juga tak sabar ingin melihat seberapa besar antusiasme masyarakat Banda Aceh akan adanya wadah nonton bareng.
Tuhan, aku mohon pemutaran Night Bus nanti malam berjalan lancar.
***
SEKETIKA lamunan saya buyar saat melihat sosok setinggi enam kaki itu melaju ke panggung Aceh Musik Festival di Taman Budaya, Banda Aceh, sesaat setelah indoor penayangan Night Bus diterangi.
“Dariusss…Darius!!!”
Sorak penonton yang kebanyakan pemuda Aceh haus hiburan.
Dan mereka, sama sekali bukan memanggil saya, meskipun jantung saya berdebar mendengar nama itu dipanggil. (Ih, lebay).
Mereka meneriaki Darius Sinathrya sang produser film Night Bus. Sementara saya langsung pulang, tak niat minta foto bareng. Sudah jam 11 malam. Saya sudah lelah karena seharian tadi menghadiri Nusa Festival di Lhoknga, Aceh Besar.
Sejatinya saya sangat tak mengidolakan Darius, meskipun di pandangan beberapa orang yang bertemu saya kali pertama (dan kedua kalinya untuk memastikan) mengatakan saya mirip Darius Sinathrya. Haha.
Jujur, saya kerap mendengar itu sejak awal kuliah di Banda Aceh delapan tahun lalu. Tapi saya pribadi, kurang setuju. Ada perbedaan jauh antara saya dan dia. Misal? Postur tubuh.
Yang sama dari kami untuk saat ini hanyalah sama-sama mendapatkan voucher nginap di Kamar Deluxe Kyriad Muraya Hotel Aceh.
Pun begitu, tetap ada perbedaannya. Dia di kamar nomor 208, saya di kamar 523. Dia check in tanggal 9 Desember, saya tanggal 13 Desember.
So, saya akhiri saja cerita antara Darius dan saya. Keberuntungan saya bisa menginap satu malam di Kyriad Muraya Hotel lebih penting diceritakan.
Baca juga: Nuansa Berbeda dari Kyriad Muraya Hotel
Dari pengalaman saya staycation satu malam, ada beberapa keunggulan menginap di Kyriad Muraya Hotel Aceh:
> Desainnya futuristik
Hotel ini didesain minimalis dan mewah. Gedungnya menjulang tinggi di tengah-tengah kota. Setiap interiornya ditata elegan dengan memadukan konsep lokal dan modern. Anda bisa melihat hal ini saat memasuki lobby, bahkan kesan ini bisa ditebak saat kita bediri di lampu merah Bundaran Simpang Lima.
> Kamarnya rapi
Saya sempat showing ke kamar di lantai dua dan lantai lima. Kamarnya tidak luas tapi tidak terkesan sempit. Dari beberapa hotel di Banda Aceh yang pernah saya masuki, kamar Kyriad ditata dengan rapi. Ruang yang sebenarnya sempit terlihat luas oleh lay-outnya.
> Menu restonya banyak
Saya sampai bingung memilih menu saat sarapan di hotel ini. Ada banyak menu yang merupakan kombinasi masakan lokal, nusantara, dan western, di Resto Al-Hambra. Selain menunya enak, ruangan resto hadir dengan suasana cozy layaknya di coffeeshop premium.
> Lokasinya strategis
Keunggulan langsung terbaca saat pondasi hotel ini mulai dibangun. Setiap warga Banda Aceh atau pengunjung yang melintasi Bundaran Simpang Lima Kota Banda Aceh dalam kurun Juni – November 2017. Dengan posisinya ini, memudahkan para tamu untuk menjangkau beberapa objek destinasi wisata favorit di Banda Aceh.
> Daud Terrace Cafe
Ruangan ini langsung diincar selebgram dan pelaku sosial media begitu dibuka sebentar usai soft launching. Cafe ini menggantung di hadapan lantai dua hotel. Bagai balkoni raksasa untuk mengisi cerita-cerita warga Banda Aceh dalam bercangkir kopi sambil berdiskusi di sofa-sofa empuk dan kursi, dengan panorama lanskap kota dan pegunungan.
> Harganya lebih terjangkau
Soal harga, Kyriad berani membanderol harga promo yang lebih murah dibanding hotel bintang tiga lainnya saat pertama kali beroperasi di Banda Aceh. Kisarannya mulai dari 700 ribu – 3 juta rupiah per kamar, dari Superior Room hingga President Suite Room.
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Kyriad Muraya Hotel Aceh
Tengku H. Mohd. Daud Beureueh No. 5
Simpang Lima – Kuta Alam
Banda Aceh 24415 – Indonesia
Phone: (+62 651) 630 0123
Email: [email protected]
Web: kyriadmurayaaceh.com
Anda boleh juga melihat review hotel ini di halaman TripAdvisor.
Tapi memang mirip Darius bang, Darius versi Aceh. Btw hotelnya keren ya!
Sik asiiiik..
Darius kurus ya Mat. Beruntungnya kita bs nginap di Kyriad. 😀
Gaya Makmur memang beda 😀
Kyriad jadi lebih menarik
Gaya “salto-fact” namanya ya. Haha. Kita ngopi di Daud ya kalo udah buka.
pokoknya, saya harus bisa selfie di kamar ini.. dan sepertinya lebih asyik yang di lantai 523 bisa lihat pemandangan kota 😀
Ya lbh perfect di 523, apalagi kalo bg yudi bawa family.
Harus cari sponsor buat staycation di sini. Minimal satu malam, ya….
Iya kakak, buruan ya selagi Kyriad Muraya masih sering promo belakangan. 😀