Petani Sawit. ILUSTRASI: Jhon Illusion |
AKHIR Juli lalu, saya melakukan sebuah perjalanan ke pedalaman Kabupaten Pidie Jaya. Saya ingin menjumpai Muhammad Diah Hamanaf di Gampong Drien Tujoh Kecamatan Bandar Dua, desa kelahirannya. Dia adalah pelopor perkebunan sawit di Pidie Jaya. Kisahnya sangat menarik.
Berawal dari silaturrahmi ke kediaman saudara di Tualang Cut, Aceh Timur, sekitar tahun 1990-an, lelaki ini tertarik dengan kesuksesan saudaranya bertani sawit. Saudaranya itu, dengan beberapa batang sawit saja, berhasil mengumpulkan jajan sekolah anaknya.
Mad Diah pun bersemangat untuk mewujudkan cita-cita sebagai petani sawit di kampung halamannya. Tahun 1996, perbukitan di Ulimmasih belantara, tidak ada petani di sekitar kebun pria kelahiran 1971 itu. Mulailah dia membabat hutan sendirian, dengan nekat dan tekat yang kuat.
Dia menanami kelapa sawit di lahan seluas 3 hektar. Dan yang menjadi tantangan, waktu itu banyak masyarakat mengejek dia.
Ada yang mengatakan dia sudah gila karena menanam sawit sendirian di tengah hutan. Ejekan itu justru membuat suami Anida Rali ini tambah bersemangat.
Mulanya, memang, banyak hal yang menjadi rintangannya sebagai orang awam dalam menanam kelapa sawit. Dia tidak punya modal besar. Kadang banyak hal yang belum dimengerti tentang cara menanam, merawat dan memelihara kelapa sawit. Karena itu, dia belajar pada pengalaman orang lain bagaimana tata cara menanam dan merawat kelapa sawit yang baik.
Usahanya itu mulai berbuah. Namun, sebagai petani sawit pemula, masa sebelum panen menjadi tantangan sendiri. Ayah dari Fahmi ini harus pintar membagi waktu.
“Kadang di sisi lain kita harus menutupi atau mencari kebutuhan keluarga dan juga kita tidak boleh tinggalkan kebun sawit begitu saja karena tidak sanggup membiayai pekerja, sehingga waktu itu saya membagi jadwal tiga hari kerja di kebun sendiri, tiga hari lagi kerja sama orang lain atau mencari rotan di gunung untuk dijual untuk memperoleh biaya kebutuhan keluarga,” ujar lelaki yang kerap disapa Mad Diah.
Mad Diah (kanan) saat di kebun bekas pembibitan sawit. FOTO: Bulqaini |
Selaku petani sawit pertama di Gampong Blang Rheue Kecamatan Ulim, Pidie Jaya, waktu itu tidak ada petani yang berkeinginan menanam kelapa sawit. Sebab saat itu hasil kebun yang mahal adalah pinang. Dan petani di sekitar Kecamatan Ulim umumnya menanam coklat dan pinang.
Dari rumahnya, ia mengajak saya ke kebun pembibitan sawit pertamanya yang sekarang ini juga sudah ditanami 20 batang sawit. Letaknya sekitar 300 meter dari rumahnya.
Dengan 20 batang sawit, sudah cukup biaya keluarga kecil. Apalagi jika ada kebun,” tuturnya.
Mad Diah harus menunggu waktu tiga tahun untuk panen pertama kalinya. Tiga tahun itu tidaklah lama untuk bisa panen skala kecil-kecilan atau orang biasa menyebutnya “buah pasir”. Sementara panen normal sawit di usia 5 tahun. Namun ketika sawitnya berumur 5 tahun, Aceh sedang bergejolak konflik bersenjata, sehingga waktu itu kebun sawitnya tidak bisa dipanen secara normal dan banyak buah kelapa sawit berjatuhan begitu saja.
Baru setelah Aceh damai, panen kelapa sawit sudah bisa normal. Dari 3 hektar kebun sawitnya bisa menghasilkan 2-4 ton per panen, atau 8 ton per bulan, dan lebih kurang 100 ton per tahun.
“Jika dengan luas kebun kelapa sawit 2-3 hektar per kepala keluarga, masyarakat Aceh sudah cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga atau menyekolahkan anak, dan sekarang banyak masyarakat yang sudah menanam kelapa sawit di sekitar kebun saya,” kata Mad Diah.
Sawit di kebun Mad Diah. FOTO: Bulqaini. |
Dari 3 hektar kebun pertama, sekarang sudah ditambah 5 hektar lagi sehingga luas kebunnya menjadi 8 hektar. Sekarang, sawit di lahan 5 hektar itu sudah mulai berbuah pasir. Hasil panen kelapa sawit dijualnya ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Aceh Timur dan Aceh Utara. Kini, Mad Diah, menjadi penampung hasil panen kelapa sawit masyarakat Pidie Jaya dan Kabupaten Pidie, dengan hasil tampungan 20 – 30 ton per hari, bersama dengan dukungan modal milik orang lain.
“Namun, saya berharap kepada pemerintah agar kami masyarakat petani sawit diberikan pendampingan dan pembelajaran pengetahuan tentang penanaman dan perawatan sawit yang handal, supaya menjadi petani yang baik,” harap Mad Diah.
Wah, tidak sia-sia usaha Mad Diah menjadi “gila” saat penanaman pertama sawit di Pidie Jaya. Tidak sia-sia pula saya menemuinya hari itu, semoga kisahnya menginspirasi kita semua. Saya pun keluar dari kabupaten pemekaran itu, yang dikenal dengan Ade Kak Nah-nya.
Ayo bersafari. 🙂 []
Writer : Bulqaini Ilyas
One thought on “Perjalananku Menjumpai Pelopor Sawit Pidie Jaya”