Pagi Minggu. Masih remang-remang, beberapa orang jalan kaki di tepi jalan lorong. Beberapa lelaki mendayung sepeda. Beberapa lainnya jogging. Keinginan mereka untuk hirup udara segar terganggu sejenak oleh kami yang mengendarai motor.
[hr style=”double”]
Kami mohon maaf–dalam hati, karena harus buru-buru mencapai Mata Ie Hillside (Lereng Bukit Mata Ie). Di sana, kami akan melihat lanskap Kota Banda Aceh dan (sebagian) Aceh Besar diselimuti kabut pagi.
Dari Lamgugop di timur Kota Banda Aceh, kami melaju pelan, karena dingin pagi sedikit menyiksa. Jalanan kota masih sepi, terlihat mulai dari Lampineung, Beurawe, Simpang Surabaya, Batoh, dan Lampeuneureut–semuanya wilayah padat lalulintas.
Keramaian baru terasa saat kami memasuki kawasan Mata Ie. Sebuah kampung padat penduduk, yang berbatasan dengan bukit-bukit rimbun. Di sebuah kedai tepi jalan, kami beli kopi untuk tiga orang dan tiga akua gelas untuk kami jadikan cangkir saat coffeemorning di puncak nanti. Ikbal akhirnya juga beli tiga donat sebagai pengganjal perut.
Kami melanjutkan perjalanan hingga lewat stasiun TVRI Aceh dan berhenti pada satu sudut jalan selepas meninggalkan Kompleks Rindam Iskandar Muda–mungkin 1 km setelah pos tentara itu.
Di titik ini, pada ketinggian mungkin 100 mdpl, pada jalan menuju Wahana Mata Ie Hillside, kecantikan alam mulai tersibak di timur: matahari terbit.
Di sisi barat jalan ialah lereng bukit. Dan kami akan mendakinya untuk mengambil posisi lebih tinggi. Awalnya kami panjati lereng bukit bebatuan–karts sepertinya–setinggi 10 meter. Angel yang lumayan.
Garis horizontal yang terbentuk dari kabut, membelah dua lanskap pagi dari Mata Ie Hillside.
Setengah ke atas hanyalah putih remang-remang namun mulai dipercik jingga matahari. Separuh ke bawah ialah lukisan yang ingin saya lihat: lekukan pepohonan, petakan persawahan, perumahan penduduk, dan kota Banda Aceh di tenggara.
Awesome!
Sudah hampir jam 8, kami ngopi dulu. Cek De membuka bungkusan kopi dan menuangkan dalam botol akua yang baru saja kami aliri ke tonggorokan–saya pakai separuhnya untuk buang air kecil di semak-semak, ups!
Kami duduk santai menatap alam. Betapa nikmatnya sebuah pagi yang singkat. Pandangan terdekat ialah kompleks Rindam. Suara-suara bariton tentara menguar ke udara. Tak lama, satu kompi berlari rapi di bawah kami. Satu dari mereka melambai saat kami motret. “Bersama Rakyat TNI Kuat” terpancar dari lambaian tangannya, haha.
Mereka berlalu, tapi kami tidak turun. Energi bertambah, keindahan alam pun makin bergairah di depan mata. Ikbal sangat ingin mendaki lebih tinggi, begitupun saya dan Cek De; kalau memang itu yang terbaik untuk menghasilkan foto terbaik, maka saya akan naik setinggi-tingginya. Preeet.
Untung, lereng bukit Mata Ie memiliki bongkahan batu yang menyembul di antara rerumputan. Tekstur alam itu menjadi pijakan dan pegangan yang bagus layaknya panjat tebing. Perlahan kami naik, ambil foto, naik lagi, ambi foto lagi, naik lagi, dan berhenti pada spot yang kami rasa cukup mendapatkan lanskap terbaik dari Mata Ie Hillside.
Cek De kali ini menjadi model kami, bila kami tidak wefie tentunya. Heum, ia berbakat–sedikit, haha.
Sebenarnya Ikbal ingin mencapai puncak bukit satu lagi di depan kami, yang bersambung dengan bukit yang sedang kami duduki ini. Tapi pendakian tak sesuai rencana tadi malam. Pada jam 2 dini hari tadi, kami baru mendapatkan kesimpukan ke mana kami harus pergi pada pagi Minggu. Rencananya kami cuma sebatas memotret di tempat kami ngopi tadi. Tapi nyatanya sekarang, kami barangkali sudah pada ketinggian 400 mdpl.
Saya tak menduga bisa mencapai spot ini meski hanya tidur 4 jam setiap malam dalam seminggu terakhir. Syukurnya, tak jauh dari kami berdiri, ada beberapa pohon reuem tumbuh dan berbuah seperti anggur berkarang.
Saya bilang pada mereka bahwa itu obat antihaus dan antilapar. Ya, Cek De memetiknya dua karang boh reuem yang matang. Saya baru tahu buah ini berkhasiat saat Bertualang ke Guha Jepang Laweueng.
Namun, karena matahari mulai naik, bukan lagi golden time untuk mengambil sunrise di puncak bukit satu lagi, kami memutuskan turun, tepat jam 9.
Saya meminta keduanya mengutip sampah plastik yang kami bawa dan beberapa botol mineral yang ditinggalkan pendaki sebelumnya. Ini wujud terima kasih kami kepada alam karena sudah ‘mengizinkan’ kami menikmatinya dengan selamat dan nikmat.[]
Writer : Makmur Dimila
Berjalanlah.. dan ceritakan pengalamanmu 🙂
2 thoughts on “Pagi, Mata Ie Hillside”