(Modal Indonesia di World Halal Tourism Awards)
Di beberapa daerah di Aceh, ketika bepergian, saya sering disambut sebagai ‘tamu agung’. Tuan rumah hidangkan kue dan kopi—sejenisnya, jika saya tiba di pada bukan waktu makan. Saya akan diminta, setengah dipaksa, untuk makan bersama jika bertandang menjelang jam makan siang dan malam.
Besar-kecilnya sambutan tuan rumah tergantung jarak yang ditempuh dari daerah asal. Jika saya datang ke Aceh Selatan dan bilang dari Banda Aceh atau dari Aceh Timur, “wah, jauhnya, nginap di sini ya!” Bahkan saat pamit pulang, disediakan pula oleh-oleh.
Saya merasa bagai orang penting dalam setiap perjalanan. Ternyata, saya baru saja mengalami praktek amenitas, salah satu dari tiga rumus 3A pengembangan destinasi pariwisata versi Kementerian Pariwisata RI.
HOSPITALITY
Hospitality—salah satu item dari rumus amenitas—sering kali saya dengar setiap membicarakan pariwisata. Bahkan, kata ini semakin menggema belakangan. Seiring dengan terciptanya wisata halal atau halal tourism sebagai trending topic.
Hospitality sering diartikan keramah-tamahan. Sederhananya bermakna: interaksi yang baik antara tuan rumah (host) dengan tamu (guest). Jalinan hospitality ini cukup menentukan eksistensi suatu model industri pariwisata.
Pariwisata global menuntut adanya unsur hospitality dalam setiap atraksi wisata. Termasuk wisata halal. Indonesia diakui dunia sebagai ‘negara senyum’ alias friendly country. Ini juga merupakan karekter masyarakat Timur umumnya.
Aceh sebenarnya tak perlu khawatir menjalankan atraksi wisata halal. Sebab Aceh sebenarnya sudah memiliki dan menggulirkan halal hospitality sejak lama.
Sejak kecil, saya sering dengar dan lihat orang tua mempraktikkan konsep hospitality, yang dikenal Peumulia Jamee Adat Geutanyoe.
Saya sering lihat: ibu akan meminta ayah sembelih ayam tergemuk (bahkan piaraan saya), hanya untuk dimasak lalu disajikan kepada tamu dari luar daerah. Katakanlah, kepada saudara yang lama tinggal di daerah lain dan sekali waktu bersilaturrahmi.
Dan ketika dewasa, giliran saya melihat orang lain memprakatikkan itu kepada saya.
Orang lain pun, saya duga, pernah alami atau dengar cerita serupa. Pun saya yakin, konsep serupa dengan istilah berbeda, juga sudah berjalan di luar Aceh.
Ramah-tamah itu hal sepele. Tapi sebenarnya, cukup mendunia, setidaknya untuk saat ini.
Saya gembira, Peumulia Jamee Adat Geutanyoe kini diadopsi dunia pariwisata secara global.
Maka bersyukurlah, Aceh sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi destinasi budaya ramah wisatawan terbaik dunia.
Atraksi ini pula yang sekarang menempatkan Aceh mewakili Indonesia di Kompetisi Pariwisata Halal Dunia (World Halal Tourism Awards) 2016.
Sebaiknya dibaca: Gerakan Vote WHTA Semakin Massif
Aceh bersama wakil lainnya asal Indonesia, bersaing dengan negara semisal Arab Saudi, Turki, Oman, Mesir, Albania, Malaysia—negara-negara yang menjadi tujuan sebagian generasi Aceh menuntut ilmu.
Aceh yang sudah menjalankan syariat islam dan mempraktikkan atraksi wisata halal, sebenarnya cukup mudah menyambut gelombang pariwisata halal. Dan, Aceh harus meyongsongnya dengan gembira.
Industri pariwisata halal memiliki prospek cerah di masa depan. Lebih-lebih, Pemerintah Indonesia sudah menetapkan Aceh bersama Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat sebagai destinasi wisata halal unggulan.
Memajukan pariwisata bukan sekadar tugas pemerintah. Tapi untuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat di masa mendatang.
Jika pariwisata bernafas, sektor lain pun ikut hidup.
Kalau sektor pariwisata tumbuh, maka industri perhubungan, kerajinan dan industri kreatif bakal tumbuh. Pariwisata itu adalah sektor yang bisa menjadi sumber devisa, dan pada suatu saat nanti terbesar di Tanah Air,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal, suatu kali.
Indonesia dalam hal ini perlu sebanyak-banyaknya meraup pengakuan dunia untuk menarik arus wisatawan mancanegara.
Indonesia setidaknya perlu menang (lagi) di World Halal Tourism Awards 2016. Jika tahun sebelumnya NTB mampu meraih 3 kategori di ajang yang sama, kenapa Aceh tak bisa di tahun ini?
Dengan semangat Rahmatan lil’Alamin, ayo vote Aceh dan Indonesia di ajang World Halal Tourism Awards 2016 melalui laman bit.ly/VOTEIndonesia.
Periode voting putaran pertama mulai tanggal 24 Oktober – 6 November 2016, memilih 5 besar finalis (Top 5) masing-masing kategori dan voting putaran kedua pada tanggal 7 – 24 November 2016.
Tugas kita, masyarakat biasa sebagai ‘duta wisata nonformal’, adalah membantu voting. Jika pun tak menang, bukan berarti kita kalah. Kita sebenarnya sedang menang dari segi pariwisata.
Sebaiknya dibaca: Pariwisata Andalan Pendulang Devisa
Terbukti, industri pariwisata selama ini menjadi pemasukan negara paling besar bagi Indonesia. Selama 2014 sektor pariwisata menyumbang devisa sebesar US$ 10,69 miliar atau setara dengan Rp 136 triliun.
Aceh yang saat ini masih menjadi daerah konsumtif, semestinya masyarakat dan Pemerintah Aceh sadar, memajukan industri pariwisata (halal) dapat menolong generasi Aceh ke depan, menciptakan lapangan kerja di bidang baru, menjadikan Aceh perlahan sebagai daerah produktif; menjadikan Aceh sebagai penjual, bukan hanya pembeli.
Tunggu apa lagi, keluarlah dari “Zona Nyaman”.[]
Salam, Pesona Indonesia
Yang Halal Menjadi Pesona.
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
paling tidak, akhirnya indonesia mengerti arah pariwisatanya. Tema, dan bentuk pariwistanya menjadi jelas. sehingga konsep yang dijual pun menjadi semakin menarik.
yups, lets Vote for Aceh Vote for Indonesia 😀
http://www.hikayatbanda.com/2016/11/jelajah-kuliner-di-banda-aceh.html
Amin… Jangan lupa ajak vote orang Malaka ya, haha