Aha! Paspor saya akhirnya mendapatkan stempel imigrasi Singapura. Kamis awal November lalu.
Katanya, sulit menembus pos pemeriksaan di Bandara Internasional Changi, Singapura. Lebih-lebih, bagi pemegang paspor yang masih kosong dari stempel imigrasi.
Singapura bukanlah destinasi wisata yang tepat bagi orang berkantong tipis, seperti saya, dan kamu yang hidup pas-pasan. Tapi sebagai manusia, kita semua berhak menikmati negara mana saja. Ada saja cara untuk mencapai itu.
Saya pun harus menemukan cara pintar menikmati negara bekas jajahan Inggris itu, negara yang merdeka dari Malaysia pada 1965 itu, negara yang tak punya sumber daya alam itu. So, ngapain aja di Singapura?
1. Enaknya Tidur di Changi Airport

Rabu malam itu, saya menjejaki Changi Airport pertama kalinya. Apa hebatnya?
FYI, bandara ini empat tahun berturut-turut meraih predikat Bandara Terbaik Dunia versi Skytrax dalam acara penghargaan SkyTrax World Airport Awards.
Bak sebuah kawasan kependudukan, semua kebutuhan hidup ada dalam Changi. Mulai dari penginapan, kolam renang, tukar uang, spa, air bersih gratis, musala, warung, self check in, hingga peta digital.
Saya memilih salah satu penginapan ‘mewah’ di Terminal 1 Ketibaan Antarbangsa (Luar Negeri). Akomodasi gratis.
Ya, saya dan teman-teman memilih pojokan koridor transit area untuk berbaring. Di balik deretan kursi pengguna bandara. Pada pilar yang memiliki banyak colokan, sehingga kami bisa isi ulang batere hape selain isi ulang tenaga.
Backpack sebagai bantal, terpal alas bandara sebagai kasur, dan jaket sebagai selimut akibat dinginnya suhu dalam bandara di Singapura.
Kami lelap hingga bangun Subuh hari untuk keluar dari bandara. Dengan nyaman, tak dilarang petugas. Meski di bandara, nyamannya hampir seperti di hotel bintang lima. #EntahIya
TIPS:
– Sediakan sleeping bag jika ingin tidur di bandara, karena pendingin di mana-mana.
– Sediakan pula tumber/botol air pribadi untuk menghemat biaya. Di bandara tersedia tempat isi ulang air bersih gratis, sementara air mineral di Singapura mahal.
2. Kencingi Merlion Park

Pagi hari, usai melewati pemeriksaan di imigrasi dan kastom, kami naik SkyTrain dan turun di Terminal 2. Dari sinilah, eksplor di Singapura dimulai.
Kami naik Mass Rapid Transportasion (MRT) keluar dari bandara, menempuh East West Line alias jalur hijau. Transit di stasiun Tanah Merah. Selanjutnya naik MRT tujuan Joo Koon dan turun di Raffles Place.
Stasiun itu, jalur terdekat untuk mencapai destinasi wisata di Singapura yang mainstream. Merlion Park.
Di taman kota itu, saya minta travelmate Dedi, untuk berpose seolah-olah sedang minum air pancuran dari mulut singa laut; dan dengan agak nakal, seakan-akan ia kencing ke udara.
Ada banyak turis di landmark Merlion; ambil foto dengan beragam pose. Sebagian mengenakan payung saking teriknya hari, yang bisa disewa di counter dekat objek wisata itu.
Kapal Nabi Nuh di sebelahnya, silau oleh sinar matahari di timur. Akan backlight saat difoto.
Selebihnya, kami hanya menyaksikan gedung-gedung pencakar langit. Menyusuri pedestrian, menuju Stasiun Rafless. Lalu naik MRT menuju Stasiun Bugis, pintu masuk kawasan Melayu di Singapura.
TIPS:
– Untuk akses transportasi umum, beli kartu Standart Ticket untuk MRT/LRT yang hanya sekali pakai, atau kartu khusus semisal Singapore Tourist Pass yang bisa dipakai lama dengan isi ulang saldo. Tersedia di mesin (seperti ATM) di setiap stasiun.
– Datanglah ke Merlion di waktu sore atau malam hari jika ingin menghasilkan foto yang bagus di Singapura.
3. Minoritas Melayu di Kampong Glam

Hujan deras menjelang Jumatan waktu di Singapura. Saya merindukan kopi hangat selagi duduk di beranda Hjh Maimunah Restaurant, di Jalan Pisang.
Saya kembali masuk ke ruangan utama restoran Melayu berlabel halal itu. Saya pesan kopi panas pada kasir dengan Bahasa Inggris, disahuti dengan santai.
Tapi oleh baristanya, ketika saya bertutur dalam Bahasa Melayu, direspon tak ramah.
“Bilang saja kopi biasa, kenapa kopi hitam.”
Wajah perempuan itu masam. Entah saya salah pakai diksi. Atau dugaan saya benar bahwa, orang Melayu asli mulai terintimidasi saat berbicara dalam Bahasa Melayu.
Permasalahan itu tak lepas dari sejarah berdirinya negara Singapura. Mulai dari masa ekspansi Kerajaan Sriwijaya asal Sumatera, pendudukan Jepang dan Inggris, hingga dipimpin oleh penguasa berdarah Cina.
Di Singapura, saya menemukan dominasi wajah Cina, Tamil, sedikit Melayu.
Jumlah penduduk Singapura saat ini sekitar 5,47 juta orang atau terpadat di dunia bila dibandingkan dengan luas negaranya yang hanya 670 kilo meter persegi. 74,4% penduduknya berasal dari etnis Cina, Melayu 13,2%, dan India 9,2%. (IndonesianReview.com)
Ragam media mengabarkan, etnis Melayu di Singapura mulai tersisihkan oleh sistem kekuasaan. Saya tak bermaksud sebarkan SARA. Dan artikel saya ini jangan jadikan pegangan, butuh ricek lebih lanjut.
Saat menyesap kopi sembari menanti hujan reda. Seorang pria berwajah Melayu, yang tampak seperti manager di Hjh Maimunah Restaurant, senang membalas sapaan saya berbahasa Inggris. Tapi saya perhatikan, ketika pelayannya bertutur Malay, ia akan merespons dengan English.
Sebaiknya dibaca: Sudah Tak Nyaman Berbahasa Melayu

Tak lama, jalanan di blok itu mengering. Kami keluar, berjalan kaki menuju Masjid Sultan yang kubahnya nampak dari depan Hjh Maimunah Restaurant.
Kubah emas menunjukkan kekhasan bangunan Masjid Sultan di Muscat Street, Kampong Glam. Masjidnya kecil. Tapi pesonanya besar.
Ia dibangun pada 1824 masa Sultan Hussein Shah, didonasi oleh Sir Raffles. Telah mengalami beberapa kali renovasi.
Lantunan azan oleh muazzin, terdengar bagai kumandang azan yang sering saya dengar dari Arab Saudi di televisi saat lebaran. Rupanya, setiap minggu, ada kursus azan di Masjid Sultan Singapura.
Itikaf di dalam masjid itu juga sangat adem. Tiga travelmate saya bahkan sampai tertidur pulas sejenak di pilar-pilar penyangga, usai salat Jumat.
Muslim Singapura berangsur-angsur kosongkan masjid. Tapi di luar pekarangannya, berduyun-duyun turis nonmuslim terpesona oleh arsitektur masjid megah di Singapura itu.
Di satu sisi bagian belakang, ada ruangan khusus bagi nonmuslim untuk mempelajari Islam dan Melayu, dipandu tour guide.
Pohon palem menjulang di jalan Haji Lane di timur masjid. Di antara bangunan-bangunan beragam fungsi; cafe, penginapan, dan toko.
Kami pun menyusuri blok lainnya, yang dindingnya dihiasi mural ragam rupa. Cukup menghilangkan kantuk bagi turis kurang tidur seperti kami yang backpackeran.
TIPS:
– Penduduk Singapura menggunakan empat bahasa: Inggris, Mandarin, Melayu dan Tamil. Gunakan salah satu bahasa paling dikuasai saja.
– Kampong Glam destinasi ‘a-must see’ di Singapura.
– Pandai-pandailah berhemat. Saat keluar dari masjid, kami dihampiri seorang pemuda asal Melaka pencari kerja di Singapura. Ia belum dapat kerja tapi modalnya sudah habis. Dia terpaksa ‘meminta-minta’ untuk mendapatkan biaya kembali ke Malaysia.
4. Adakah Aroma Starbucks di Orchard?

Sudah menjelang sore, saya belum konsumsi kopi arabika.
Rasanya kehidupan bergerak lambat tanpa jalani tradisi kopi itu, meskipun saya sudah berjalan cepat menyusuri sudut Orchard Road.
Hari itu, selepas menyaksikan kehidupan urban di kawasan bantaran sungai Clarke Quay, kami menuju kawasan Orchard, salah satu pusat shopping termegah di Singapura, terutama di Plaza Singapore.
Kamu tahulah, Singapura surganya belanja, bukan bagi kami, tapi bagi orang berkantong tebal.
Kami rehat sejenak di Starbucks di luar Plaza Singapura, tepi Jalan Orchard. Saya pesan espresso Starbucks. Secangkir, harganya 3,60 dolar Singapore (SGD). Plus satu pisang seharga 1 SGD. 1 SGD = > 9 ribu rupiah.
Starbucks menggunakan coffee blend, salah satunya Arabica coffee bean asal Gayo. Tapi saya sama sekali tak menemukan nikmatnya kopi arabika Gayo dalam secangkir espresso Starbucks itu.
“Saya takut ngopi di luar negeri,” sela Fakhri. Kenapa? “takut sakit perut,” sambungnya.
Akhirnya, saya hanya menyesap espresso Starbucks itu dua kali saja. #Paleh 😀
TIPS:
– Sebaiknya bawa bubuk kopi dari negeri sendiri jika tak ingin menambah pengalaman ngopi di luar negeri.
5. Sedapnya Rempah-rempah Tamil

Little India. Barangkali destinasi wajib selanjutnya yang harus kamu datangi di Singapura.
Pun kami menyusuri Kawasan India pada malam hari, sebelum menyeberang balik ke Malaysia via darat.
Lampu hias, dominan berbentuk bunga, sambung-menyambung warnai langit-langit jalanan utama Little India. Yang sedang merayakan “Deepavali”.
Deepavali atau Diwali, sebuah selebrasi hari raya terbesar Hindu India, selama 5 hari berturut-turut, yang juga dikenal sebagai Festival Cahaya.
Suasana vivid cukup kentara. Objek asik untuk fotografi. Tapi kami berburu kuliner khas India di pasar rakyat di Little India.
Kami memilih meja di depan warung India berlabel halal, di pasar rakyat yang memiliki ruang terbuka, layaknya pusat jajanan selera rakyat di Indonesia itu.
Mereka berdagang dengan menjalankan sistem konvensional. Tak ada bill/bon. Dan masih memuliakan tamu.
Ya, pelayan datang menyapa pelanggan, menawarkan menunya, dan menyebutkan harganya.
Sebaiknya dibaca: Berburu Halal Food di Melbourne

Sementara di sejumlah kedai kontemporer di negara maju maupun Indonesia, pembeli hampiri kasir, pesan dan bayar, lalu tunggu pesanan selesai, baru mencari meja. Pedaganglah yang menjadi raja.
Yang saya suka dari masakan India, rempah-rempahnya cukup terasa. Saya pesan nasi putih kuah sop kambing. Kuah sopnya dibubuhi kari, dan cukup terasa. Santapan malam yang puas dengan harga 5 SGD.
TIPS:
– Sertakan kamera untuk street dan night photography
– Incar warung berlabel halal dan penjualnya Tamil muslim
6. Dah, itu aja

Dari Little India, kami jalan kaki lagi 4 km menuju Queen Street Terminal, dekat Bugis Junction. Bakar kalori habis makan.
Di terminal itu, beli tiket bas tujuan Johor Baru, perbatasan darat Singapura-Malaysia. Naik bas lebih murah daripada naik pesawat, namun agak sulit di imigrasinya.
So, YourSingapore adalah tagline pariwisata Singapura. Tepat sekali. Singapura menjadi milik kamu yang memang berkantong tebal. Kami tak betah. #TurisKere
Dah, itu aja.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Duhhh, aku belom dapat cap paspor kesana, abisnya temen2 kalau diajak kesana pada gak mau..krna udah pernah…mau nyolo belum ada nyali. Nice info gan…
Harus segera Mbak Mia, pergi solo aja.
Kata kawan2 yg sudah sering ke LN, kalau sudah dapat cap Singapore akan lebih mudah masuk negara lain. Semoga mereka salah! Haha.
Makasih Mbak. 😀
komplit ya singapur, ada indianya, pecinanya, melayunya wkwkwk
Iya Mas. Destinasi menarik untuk belajar multikultural ya. 😀
eeeeeeerrrrrr belum ke singapore.. 🙁
bagi tahu share dana laaah
Hihi.
Insyaallah Bro ntar kita share khusus, yang pastinya kita main smart budgeting ke SG. 😀
Sukanya dengan Singapura itu ya karena serba teratur dan relatif aman plus nyaman kemana-mana. Tapi mahalnya itu bikin ngga betah lama-lama di sana. Beberapa kali malah nginepnya di Batam dan Johor Bahru?.
Iya enaknya di SG teratur dan nyaman, tapi mahalnya minta ampun.
Syukurnya kami sempat nginap di Changi dan ini recommended! 😀
Jaman dulu saya juga pernah tidur di Changi airport mas…..malahan lebih nyaman daripada tidur di kamar kos hahahahahaha. Udah lama banget saya gak ke Singapore lagi, padahal dulu hampir 2 minggu sekali bolak balik ke sana, tapi kerjaan…..bukan liburan 🙂
Kalau kerja seharusnya bisa langsung ke hotel ya, ini malah rebah2an dulu di Changi saking enaknya. 😀
Haha, lebih nyaman dari kosan ya, betul itu Mas.
masnya malem pertama tidur di changi, bagi tau isi apa tuh di form kedatangan, untuk adress in singapore nya? pas keluar check in tak ditanya kah?
Halo Mas,
Kami nginapnya masih di antara area kedatangan dan transit. Paginya baru keluar menuju keberangkatan. Disinilah isi form itu; untuk alamat, sebaiknya tulis aja nama kenalan di SG jika ada. Tapi kami cuma sehari, jadi cukup katakan, hanya sehari (transit) di SG dan besoknya ke destinasi lain.