Segerombolan gajah berbaris menghadap ke depan. Punggung semua gajah itu dilapisi kain sutra bermotif bulat-bulat kuning. Mengiringi Syah Jehan, raja kelima Dinasti Mughal, yang menunggangi gajah dengan dikawal pasukannya. Saya berhenti, memperhatikan lukisan yang menggambarkan suasana India abad 17 itu.
Rupanya, saya sedang di depan Museum India. Saya tak masuk, tapi terus berjalan kaki, berharap ketemu saudara Shah Rukh Khan. 😀
Tak jauh, saya berhenti di muka toko Bombay Fashion. Sepi. Patung-patung dipakaikan kain sari, kurta, shalwar kamis, dan turban: ragam busana yang selalu saya temukan setiap menonton film Bollywood.
Tetiba, bau kemenyan menyengat. Saya lihat ada asap keluar dari pintu toko satu lagi. Saya tak masuk, terus melangkah pelan di Kawasan 61-63 Foster Street, Kota Dandenong, Victoria, Australia. Bukan di India!
Di seberang jalan, kawan saya juga susuri koridor di depan toko-toko pakain India, di bawah langit biru dengan awan-awan menggumpal.
Kami baru saja tiba di Dandenong, setelah satu jam menempuh perjalanan dengan kereta api (train) dari Flinders Railway Station, Melbourne.
Dandenong sebuah suburb (kota pinggiran) berjarak 30 km dari Melbourne, ibu kota negara bagian Victoria. Kota yang dihuni oleh banyak imigran dan pencari suaka. Seperempat pencari suaka ke Melbourne mendapatkan kehidupan di sini. Dengan jumlah sekitar 60 persen dari total populasi 145 ribu penduduk.
Saya melihat orang-orang berwajah Asia Selatan dan Afrika saat kami jalan kaki menuju Kantor Good Shepherd Microfinance, di 192/194-198 High Street. Perusahaan pihak ketiga yang menyediakan pinjaman modal kepada warga berpendapatan rendah untuk menjalankan usahanya.
Dari kantor itu, kami mencari makanan Asia. Pencarian menu halal berakhir di Kawasan 202 Thomas Street. Shams Restaurant, rumah makan khas Afghanistan.
Saya penasaran bagaimana rasa skewer kebab with rice (sate kebab dengan nasi) dan afghan bread (roti afghanistan). Masing-masing dengan harga 14 AUD dan 1,50 AUD, sekitar 150 ribu rupiah dan 20 ribu rupiah.
“Bisa traktir kawan satu kelas kalau di Indonesia,” celutuk seorang teman perjalanan asal Indonesia.
Sepiring nasi putih berisi dua tusuk sate daging anak domba disajikan dengan taburan iris wortel. Dagingnya lembut, dengan rempah-rempah yang meresap, tapi nasinya yang kurus-kurus terasa kurang cocok di mulut Indonesia. Namun tak soal.
Justru, saya kaget saat pelayan hidangkan roti afghan dalam mangkuk terbuat dari rotan. Tiga potongan roti sebesar telapak tangan orang dewasa. Saya menggigitnya, agak keras. Rasanya tawar, tidak lebih enak dari roti tawar Indonesia yang lembut. Akhirnya roti ini saya take away (bawa pulang), untuk saya bakar dengan keju sebagai sarapan pagi.
Usai makan, kami kembali jalan kaki menuju Dandenong Railway Station, stasiun kereta api untuk kembali ke Melbourne. Kesempatan ini saya gunakan untuk menelisik kawasan yang dikenal Little India.
Di belakang Museum India, saya merapat ke dinding terbuka di area parkir mobil. Dinding yang pada satu sisi bercat pink dengan simbol-simbol Hindu. Di sisi lain, bertuliskan “Namaste… Little India”. Dengan gaya turis mainstream, saya berpose di sana, meniru salam namaste (yang sepertinya gagal).[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
FOTO-FOTO:
One thought on “Namaste Dandenong”