Merindukan Melaka

Merindukan melaka

Ini November. Saya merindukan Melaka.

Oleh Makmur Dimila

DI awal bulan ini, setidaknya 1.175 km dari tempat saya tinggal di Kota Banda Aceh, saya terpukau oleh sebuah kota dikemas dengan industri pariwisata yang indah.

Dari Hash House Hotel di Jalan PM7, Plaza Mahkota, 75000, hotel dengan harga kamar mulai dari 75 RM per malam ini, saya menuju Jonker Walk.

Setiap akhir pekan di sana ada Night Market; surganya hang out para pejalan kaki dari berbagai negara.

Kota Tua Melaka
Malam di Kota Tua Melaka. Photo: Makmur Dimila

Hanya butuh waktu 11 menit jalan kaki dari Hash House untuk mencapai pintu gerbang Jonker Walk.

Lapak-lapak dagang kaki lima berjejer di kedua sisi. Penjaja menawarkan dagangannya kepada setiap turis yang melintas.

Satay celup, otak-otak, durian, portuguese seafood, dan saya juga melihat semangka yang diambil dagingnya tanpa dikupas kulitnya. Mengerikan: saya menyaksikan lelaki melukis dengan tangan buntung hingga penjual kalajengking bakar!

Lampion-lampion menyala di langit-langit di antara bangunan tua pertokoan sekaligus tempat tinggal. Oh ya, itu pertanda saya sudah memasuki Chinatown-nya Melaka.

Dan saya sejatinya tengah menyusuri salah satu sudut kota tua warisan Kesultanan Melaka.

Tak hanya etnis Cina, di sekitar Jonker Walk, kerukunan hidup juga dinikmati warga Malaysia keturunan India Chetty, Melayu, dan Arab. Sebagai bukti, di satu sisi, berdampingan antara Masjid Kampung Kling, Kelenteng Cheng Hoon Toon, dan Kuil Sri Phoyata.

Masjid Kampung Kling
Turis di teras Masjid Kampung Kling, Melaka. Photo: Makmur Dimila

Akulturasi itu telah dimulai pada abad 14. Pada Masa Kesultanan Melaka, pedagang Asia dan Arab masuk lewat Selat Melaka. Mereka lantas berinteraksi, beranak-cucu, dan sama-sama membangun Malaysia.

Kemudian lewat jalur itu pula, tentara Jepang, Belanda, Portugis, dan Inggris mencapai tanah Melaka. Artifek historis ini betul-betul dihidupkan oleh pemerintah setempat dan selalu menarik minat turis yang melawat ke negeri jiran.

Tapi malam hari di Jonker Walk, bagi saya, tak begitu menarik dengan ‘pelajaran sejarah’. Melainkan, mencari tempat yang enak untuk ngopi.

Ya, kemana pun perginya, saya selalu menyempatkan diri temukan warung kopi premium. Ingin menyesap kopi arabika.

Saya memasuki Malaysia 13 States Coffee di Jalan Hang Kasturi, 75200, Melaka, yang sangat direkomendasikan oleh pejalan dunia melalui situs Trip Advisor. Sebuah warung kopi artistik dan klasik.

Calanthe Art Merindukan Melaka Cafe
Salah satu sudut dalam Calanthe Art Cafe. Photo: Makmur Dimila

Exterior dan interiornya dipenuhi barang-barang antik. Bagai mengandung lapisan magnet dan menarik semua benda besi ke dinding. Panci, gayung, rantang, cangkir, hingga lampu teplok menempel di sekujur dinding.

Uniknya, coffee shop bernama asli Calanthe Art Cafe ini menawarkan pengunjung minuman dengan variasi 13 jenis coffeeblend dari 13 negara bagian di Malaysia. Dan saya pesan Black Coffee dengan Kopi Arabika Terengganu. Sementara pelanggannya mostly bule-bule.

Dan saya tak begitu menyukai kopinya. Kurang strong.

Mungkin mereka pakai roast bean medium level; atau memang kopi tumbuh di bawah 1.000 mdpl. Tapi sudah cukup memenuhi hasrat ngopi.

Besoknya, saya menelusuri seluruh situs sejarah Kota Melaka. Cukup panjang untuk menceritakannya di sini.

Melaka River Cruise
Naik Melaka River Cruise susuri sejarah Sungai Melaka. Photo: Makmur Dimila

Sebagai satu intisari, Kota Melaka berhasil dengan industri pariwisata yang memadukan konsep water front city dengan heritage city.

Sayangnya, setelah check out hotel, saya baru ngeh, saya lupa datangi makam muridnya Hamzah Fansuri, Syekh Samsudin al Sumatrani asal Aceh di Kampung Ketik. Padahal dia berasal dari bangsa yang sama. Itu artinya, saya harus kembali. []

Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 

5 thoughts on “Merindukan Melaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *