Jalan menuju Aceh Tengah, difoto dari persinggahan Cot Panglima, Bireuen. |
SEHARUSNYA kita mandi dulu sebelum menghadiri pesta perkawinan, biaaar… (bla bla bla). Tapi ritual itu sulit dilestarikan di Dataran Tinggi Gayo. Namun alangkah takjubnya alam ini tatkala suatu kali di Takengon saya berhasil melawan efek dingin pagi yang menggigil.
Sabtu, 23 Agustus lalu, beberapa jam sebelum mendampingin rombongan pengantin, saya melawan dingin dengan dingin. Seperti diajarkan guru matematika bahwa minus kali minus samadengan plus (- x – = +) Benar? Awas kalau salah dibet kulet pruet keuh!
Saya, Ikbal, Jufri, dan Zirky, terakhir mandi sebelum pergi Jumatan di Metareuem, Sigli, kampung saya. Setelah itu, kami bersama Boy dkk. lekas bertolak ke Aceh Tengah, menempuh perjalanan 8 jam. Mengendarai motor, melintasi pegunungan, hingga tiba di tujuan tengah malam sebab sempat dimandikan hujan.
Kami dan Boy nginap di rumah pamannya, di Gampong Toa, Kecamatan Kayu Kul. Yang lain menumpang di tempat saudara juga.
Tempat tidur bagai ranjang es. Mesti ada selimut super tebal sehingga kami bagai kepala kura-kura yang bersembunyi di balik tempurungnya.
Pagi di Kayu Kul. Dari belakang rumah Paman Boy. |
Pagi adalah puncak dingin. Bayangkan sendiri bagaimana dinginnya pagi di Kota Dingin, bagi pendatang tentunya. Kopi gayo yang diseduh pun tak dapat kami rasakan hangatnya. 🙁 Brrr!
Rumah Paman di pinggir jalan raya menuju Kabupaten Aceh Tenggara, Kutacane. Kami jalan-jalan sekitar kompleks sambil memotret panorama alam yang asri. Takengon adalah kota yang tumbuh bagai danau di satu kawah, menurut saya sih gitu :D. Kabut menyelimuti pegunungan.
Yang mana Zyrki, Jufri, dan Ikbal? Silakan tebak. 😀 |
Petani kopi. Ups! 😀 |
Jufry dan Zirky sebentar-bentar melipat tangan ke dada. Pantas saja, keduanya tak mau nyemplung ketika kemudian, saya, Ikbal dan Boy mandi di Sungai Uneng, sekitar tiga menit berkendara dari rumah Paman. Tepatnya di Simpang Uneng. Awalnya juga tak mau, tapi saya teringat pelajaran matematika, minus kali minus samadengan plus!
Begitu lepas baju—ups! Masih ada celana beh 😀, kami bagai masuk kulkas. Tapi, badan kami terasa agak hangat saat merendam dalam sungai yang jernih dan bening. Pantaslah hari itu saya katakan, Sungai Uneng udah kayak kolam pemandian puteri raja, haha.
Sensor beh. Hanya untuk 18 + 😀 |
Di bawah Bimbingan Orangtua. 😀 |
Akhirnya, badan kami tambah segar dan bugar, kecuali dua teman kami yang itu tu (Sorry Bro buka kartu, anggap saja sedekah ilmu dari kami :D). Selepas mandi, kami pun bebas menikmati Takengon hingga besoknya kami pulang ke Sigli setelah menonton lomba pacu kuda di Kebayakan. Ayo bersafari ke Kota Dingin 🙂 []
Writer: Makmur Dimila