Gugusan pulau kecil selalu menggoda saya saat melintasi Barat Selatan Aceh. Semenjak 2010, pertama kalinya saya lalui rute ini, belum pernah saya ‘jatuh ke pulau terpencil’, tidak seperti saat bermain Let’s Get Rich—Moodo Marble, sebentar-sebentar terdampar ke pojok: ke pulau terpencil.
[hr style=”double”]
Kesempatan itu akhirnya datang pada akhir November 2014. Saya ditugaskan meliput objek wisata di Aceh Jaya, kabupaten yang bersisian dengan Samudera Hindia. Kami menginap di Khana Hotel, satu-satunya hotel di Kota Calang yang bangkit setelah dihempas tsunami 2004.

Kota Calang adalah daratan yang menjorok ke Samudera Hindia; ia sekaligus menghasilkan sebuah teluk. Saya dengan jelas mendengar debur ombak dari kamar hotel, pagi hari maupun menjelang terlelap. Dan ketika terbangun esoknya (pada pagi kedua) di ibukota Kabupaten Aceh Jaya itu, kami langsung memikirkan agenda semalam: meliput potensi wisata Pulau Reusam. Heum..
Sebelum bertolak ke TPI Lhok Rigaih untuk menyeberang ke pulau itu, kami berkumpul di Pay Kuphi. Ini cafe ngehits di Calang. Kalau saya ibaratkan dengan Banda Aceh, ia selevel Solong atau Zakir. Tempat beradu gelas kopi orang-orang berpangkat.
Di sana sudah ada Samsuar, Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi Telematika Budaya dan Pariwisata (Dishubkomintelbudpar) Kabupaten Aceh Jaya bersama anak buahnya. Ada juga Aizuddin anggota DPRK Aceh Jaya dari Fraksi Golkar Komisi A bidang pemerintahan dan perhubungan. Dan Asrul dari Geudumbak Foundation yang turut memandu kami. Usai ngobrol dan ngopi, tur dimulai.
Kami keluar dari Kota Calang, belok kiri ke arah Banda Aceh. Melipir ke kiri di KM 141, di perbatasan Gampong Lhok Timon – Gampong Rigaih Kec. Setia Bakti. Bersiap-siap nyeberang dari dermaga di TPI Lhok – Rigaih.

Dalam boat kayu milik nelayan yang membawa kami, saya tanyakan kenapa namanya ‘reusam’? Apakah sama dengan kata reusam dalam petuah Aceh: “adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah Kuala; qanun nibak Putroe Phang; reusam bak Laksamana”?
Mereka geleng kepala: “bukan”. Memang sedari dulu nama pulau itu reusam. Oke, fine. Kota Calang terlihat dari dalam boat. Di kanan (selatan) kami. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni juga kami lalui dari sisinya. Hanya 8 menit, mesin boat dimatikan tekong.
Dermaga kayu menyambut kami. Akhirnya ‘terdampar’ juga di Pulau Reusam.
Di bawah pepohonan waru laut yang teduh, saya melihat banyak bekas tulang-belulang ikan yang tak terbakar lenyap. Tiga hari sebelumnya, rombongan Bupati Aceh Jaya berkemah di pulau ini usai memperlihatkan aksi jet ski di perairan Calang kepada warganya.

Kami kemudian dibawa keliling pualu, mulai dari utara. Saya selalu berusaha berjalan di belakang Pak Samsuar, sehingga dapat mengutip atau bertanya apa saja tentang Pulau Reusam. Dan ini akan memudahkan saya untuk menuliskan laporan kelak.
Usai keliling separuh pulau hampir satu jam, saya dan Bang Salman mencoba snorkeling di ujung selatan pulau. Nah… ini momen yang paling saya suka bila ke pantai yang memang berpotensi. Tapi apakah Pulau Reusam punya spot snorkeling? Temukan jawabannya di sini (Baca: Reusam, ke Pulau ini Kami Harus Kembali)

Garis pantai pulau ini, sekitar 300 meter, juga tampak menawan. Landai namun banyak rumput laut. Cocok buat warga yang ingin bertamasya atau meuramien di hari libur. Pantas saja sebelum kedatangan kami pulau ini sudah populer bagi warga Aceh Jaya.



Sebelumnya Samsuar bilang, Pulau Reusam merupakan satu dari 16 pulau di perairan Aceh Jaya yang sudah terdata dan memiliki nama. Pulau ini ditaksirnya memliki luas total 16 hektare—berdasarkan pemetaan Google Maps—ada juga menyebutnya 20 hektare.

Baru-baru ini saya dapat kabar, ada spot diving di sekitar Pulau Reusam. Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman pernah menjajalnya sebelum kami liputan. Dan satu bulan lalu beberapa anggota Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Aceh ikut menyelam ke sana. So, pulau ini layak dicoba.[]
Writer : Makmur Dimila
Berjalanlah dan ceritakan pengalamanmu 🙂
One thought on “Meliput Pulau Reusam”