
Cerita Guci Rumpong yang sampai ke telingaku selalu menganggu. Katanya di Kabupaten Pidie ada sebuah masjid yang punya benda ajaib. Benda itu bisa membuktikan siapa yang benar dan salah. Yang salah akan lengket di sebuah guci, kalau dia berbohong.
Cerita itu mau kubuktikan sekarang.
Aku bersama Akbar Rasfanjani ke masjid yang katanya sudah ada sebelum Portugis mendarat di Lamno. Setelah mendengar info di mana masjidnya sama penunggu cafe Horas Kopi di Kota Sigli, kami berangkatlah.
Kami sampai di pagar masjid itu setelah melewati jalan poros tengah Bambi yang sudah rusak karena sudah lama tak terjamah perbaikan oleh pemerintah.
Terlihat masjid berkubah warna emas yang megah. Tapi saat mau masuk ke masjid, pintunya semua terkunci. Padahal di dalam masjid tersimpan Seureubek: sebuah Al-qur’an yang merupakan tulisan tangan dari Tgk Chik Di Pasie yang juga berusia ratusan tahun. Inilah rupanya yang digunakan masyarakat untuk kesaksian sumpah.
Saat menjelang Asar kami bertemu dengan seseorang yang mau shalat di masjid. Beliau bilang kalau orang berbohong di dalam sumpahnya sambil diletakkan Seureubek di kepalanya, orang itu akan kejang-kejang seperti disambar petir.
Berarti dugaan aku selama ini sumpah pakek guci salah dong!

Lalu ada batu yang dikurung dalam kerangkeng. Di dekat pintu masjid.
“Apa ini?” Aku bertanya pada bapak itu.
“Ini batu siprok,” Beliau bilang.
Jadi kalau ada orang mencuci kepala dengan air guci, air hasil cucian kepalanya ditumpahkan ke sini.
“Jadi tak bisa diasah batu ini?” tanyaku lagi. Tapi beliau tak menanggapi.
Guci yang besar berwarna hitam keemasan juga dikurung dengan bangunan, terpelanting beberapa gelas plastik di antaranya. Ada juga gayung. Mungkin ada yang lebih haus dari perjalanan jauh bisa meminum dengan gayung. Dan yang haus biasa minum dengan gelas plastik.

Alih-alih minum dari gelas dan gayung, kami beli aqua di kios terdekat, karena penjaga mesjid tidak di sana, jadi kami tak bisa memasuki bangunan yang ada gucinya.
Kami pun terpaksa foto dari luar. #cyedih
Kami tanyai anak muda yang duduk di balai dekat masjid, di mana rumah Pak Khatib. Mereka kata, jauh. Akbar tak mau pergi.
Kalau rumah penjaga masjid di mana? Katanya, pas di depan masjid.
Kami ke sanalah. Disambut istri beliau.
“Peu nyak meujak peulheuh kaoy?”
(Apa maksud kalian kesini, mau melepas nazar ya?)
“H..hana..” Akbar terkejut dan mentidak-iyakan!
“Suami saya lagi tidur.”
Kami pun pergi, padahal di depan rumah ada pohon jambu sedang berbuah. Ranum dan merah, kami tidak berani minta.
Kisah Keramat
Anak muda di balai juga bercerita. Tgk Chik di Pasie pernah menggagas pembuatan sungai bernama Lueng Bintang. Sungai sepanjang 25 km untuk irigasi masyarakat.
Ada juga beberapa kisah keramat yang dituturkan masyarakat turun-temurun, misalnya ada weng tubee—alat peras tebu—yang mengikuti beliau karena si empunya tebu tak memenuhi permintaan beliau. Ateung—pematang sawah—yang tak pernah bagus karena pemiliknya melarang pengusung jenazah melewati pematang sawahnya. Cerita keramat Tgk Chik di Pasie dapat Anda baca dengan lengkap di sini.
Tgk Chik di Pasie bernama Abdus Salam bin Burhanuddin. Anak dari Tuan Syarif Burhanuddin, berdarah campuran Kurdi dan Turki. Abdus Salam bin Burhanuddin adalah seorang ulama besar Kesultanan Aceh.
Sejak umur 15 – 35 tahun beliau bermukim di Makkah memperdalam pengetahuan kaligrafi, jurnalistik, seni sastra, tafsir Al-qur’an dan hadits. Karya seni Syeikh Abdus Salam sampai sekarang masih tersimpan di rumah ibadah di Desa Masjid Guci Rumpong, Kec. Peukan Baro, Pidie ini.

Masjid Tgk Chik di Pasie dibangun abad 17. Indah sekali di luarnya, perpaduan hijau dan putih. Pondasinya dari batu-batu yang sedemikian rupa masih nampak setelah disemen.
Bambu Tangga Muazzin
Purieh adalah batang bambu yang hanya dipotong daun-daunnya. Lalu kalau diberdirikan bisa naik ke atas masjid. Mungkin ini yang dipakai sebelum tangga ditemukan. Inilah pula yang dilakukan muazzin sebelum pengeras suara ditemukan. Beliau harus berusaha naik ke plafon masjid lalu mengumandangkan azan–semoga beliau yang naik ke atas dengan kain sarung ada memakai celana dalam, kalau tidak akan membahayakan jamaah lain.
Sampai sekarang masih ada bambu yang berusia 800 tahun lebih itu di dalam masjid lama.
Suasana di dalam masjid itu dingin karena ada pohon asam di belakang mesjid yang melindungi para jamaah dari terpaan sinar matahari.

Hampir berdempetan dengan masjid, ada balee khanduri. Jadi memisahkan tempat shalat dan tempat makan. Bedanya masjid dengan balee khanduri adalah dekorasi dindingnya yang banyak pola donat, dan tak berdinding terbuka, sehingga bisa masuk dari mana saja untuk makan. Sedangkan masjid punya pintu dari tiga sisi, kecuali sisi depan di depan imam.
Demikianlah cerita dari Masjid Guci Rumpong.[]
Writer: Riazul Iqbal Pauleta
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Terkait, Masjid dan Tongkat Iskandar Muda, Sejarahnya di Pidie