Januari yang lalu. Saya bepergian dengan dua anggota Pengkajian Ulang Potensi Kecamatan (PUPK) Pidie. Pagi hari hari saya dibawa menelusuri Guha Jepang di Laweueng. Dua terowongan bawah tanah yang mengangumkan. Sore, saya diajak menyisir sisi barat kabupaten yang tak jaya-jaya itu.
Ke Kolam Putroe Bungsu, kata mereka.
Dari jalan nasional Medan-Banda Aceh, kami memasuki gerbang Gampong Tanjong, Kecamatan Padang Tiji. Sekitar seratus meter kemudian melewati kompleks perumahan yang baru dibuat, kami berhenti. Parkir motor di kompleks peternakan kambing milik warga.
Bun sempat kewalahan merayu seorang perempuan seusia SMA di peternakan itu. Bukan merayu hatinya, tapi memohon kesediaan untuk kami titipkan dua sepeda motor. Gadis itu terlihat curiga, mungkin dikiranya kami pencuri kambing-kambing milik majikannya itu.
Dari sana, kami memasuki perbukitan di seberang jalan beraspal mulus. Melalui perkebunan yang mungkin juga milik peternak kambing itu. Pasalnya, si gadis yang lupa saya tanya namanya itu sempat membuntuti, hingga kami meninggalkan kebun.
Semak belukar kami sibak, menyusur jalan setapak, yang dipandu Akbar dan Bun. Saya dan Boy menyusul. Beragam pohon seakan-akan mengcengkeram kami. Lebih-lebih, saat kami harus pandai-pandai menyelinap di antara pohon berduri yang tumbuh di tanah lembab. Di sini kami berhenti.
Dari balik tanaman berduri ini, saya melihat sebuah kolam ditumbuhi dan dikelilingi tanaman liar. Beberapa batu bulat menyembul ke permukaan. Saya harap itu bukan batu giok, meskipun berlumut! 😛
“Kita sudah sampai di Kolam Putroe Bungsu,” kata Akbar.
“Sungguh?!” tanya saya dalam hati.
Saya teringat kepada Kolam Putroe Bungsu di Aceh Barat Daya: berada di aliran pucuk sungai yang menjadi objek wisata pemandian favorit warga di sana, dikelola dengan baik dan mudah dijangkau.
Ya! Begitulah Kolam Putroe Bungsu di daerah saya. Tertutup dan tak mau dibuka oleh ‘Bapak dan Ibunya’.
Kolam itu terasa angker. Nyamuk meraung-raung di sekeliling. Sebelum pamit pada Putroe Bungsu, saya meminta Bun duduk di batu dalam kolam itu. Sementara saya memotretnya dari bibir kolam yang sebelumnya saya kira lumpur hisap.
Kembali ke jalan, ambil kendaraan, terimakasih kepada gadis di peternakan, kami mengarah ke barat. Beberapa pasangan muda mendahului kami: ada yang mesra, juga cemberut tapi motor tetap melaju, hingga kami sampai di Kompleks Waduk Rajui.[]
Writer : Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
One thought on “Mampir di Kolam Putroe Bungsu Pidie”