Ketika lebaran di Aceh, Kabupaten Pidie menyajikan warganya pengalaman berkesan. Saban tahun, sebuah festival rakyat—tak tersurat—dihelat. Untuk membuat warganya ingin selalu merindukan pulang kampung pada Idul Fitri.
Daaar!
Prang!
Kaca jendela rumah saya berguncang. Sementara, tanah bergoyang. Beberapa pekik kejutan terdengar di luar sana. Yang tak biasa mendengarnya, menyumpahi keadaan:
“Peue ka ipeulaku!”
Seketika, dari aliran sungai terdengar rentetan letusan yang berdentam. Tum. Tum. Tum. Saya mencari sumber suara itu.
Di bantaran sungai, dalam keremangan, pria-pria menyalakan obor api. Di satu sudut, ada belasan, menduduki meriam yang panjangnya melebihi tubuh mereka.
Tum. Tum. Dan, Syoh, suara meriam yang tak sempurna.
Suara yang sama, terdengar dari arah berlawanan, dari seberang sungai.
Ha, ha. Saya bagai bernostalgia. Itu bukanlah cuplikan konfilik bersenjata yang pernah memerahkan nama Aceh. Tetapi tradisi yang kembali tumbuh di kampung saya, setelah satu dekade lebih tak pernah terdengar lagi.
Adegan itu, yang kini terlihat layaknya sebuah festival perang rakyat (Pidie), hanya ada saat Lebaran di Aceh, di malam Idul Fitri.
Di tempat yang sama, semasa saya masih duduk di bangku SD, belasan tahun yang lalu, saya ikut begadang di malam lebaran pertama Idul Fitri.
Persiapan menghadapi festival itu, sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari raya. Diprakarsai oleh pemuda kampung dengan biaya hasil patungan.
Pemuda perantau lazimnya akan menelan ludah, karena harus menahan gengsi: ada atau tidak adanya duit, tetap harus nyumbang. Tragisnya, sumbangan tak boleh kurang dari orang yang menetap di kampung.
Para pemuda, mengumpulkan dana. Untuk membeli karbit—mesiunya meriam karbit, batang bambu sebagai bahan baku pembuatan bude trieng dan minyak sebagai bahan bakarnya.
Layaknya menghadapi arena perang sungguhan, ada juga tim logistik, yang menyiapkan kambing (ternak lain) dan kacang hijau, untuk dimasak sebagai pengisi perut bagi ‘para pejuang’.
Meriam karbit, dirancang menggunakan cincin sumur atau drum minyak. Mereka disambung-sambung, kemudian ditanam di bantaran sungai, menghadap bantaran sungai di kampung sebelah.
Di malam pertama Lebaran di Aceh, usai Salat Isya dan takbiran di meunasah berakhir atau sekitar jam 9 malam, perang rakyat pun dimulai.
Saya, waktu itu, masih sebagai ‘prajurit infanteri’ yang bertugas sebagai Pasukan Tot Bude Trieng. Sementara para pemuda, sebagai artileri, mengambil barisan Pasukan Tot Karbet.
Sisanya, penyedia logistik, tim hore-hore alias cheerleader yang akan menghadrikan tawa dengan Bahasa Inggris-nya Aceh, dan penonton yang datang dari berbagai desa.
Festival perang rakyat itu berlangsung sampai menjelang Subuh. Sampai saya dan kawan-kawan kadang hanya terjaga oleh suara gelagar Meriam Karbit.
Maka besoknya, ada dari kami yang tak sempat Salat Ied, ada pula yang berhari raya hanya setengah hari. Separuhnya lagi tidur.
Perlahan, ketika saya sudah di bangku SMA, kemudian ke bangku kuliah, tradisi itu tak ada lagi di kampung saya. Seiring perubahan kondisi geografis di bantaran sungai; terutama yang sudah dipasang beronjong.
Namun, festival rakyat saat Lebaran di Aceh itu tak pernah hilang di Indrajaya dan Delima.
Di dua kecamatan itu, rutin setiap tahun digelar festival perang rakyat antara Gampong Kong-kong (Delima) versus Gampong Kubang (Indrajaya) dan Gampong Aree (Delima) lawan Garot (Indrajaya).
Masa konflik pun, tradisi itu tetap bergulir di daerah yang terpaut sekitar 5 km ke utara kampung saya itu.
Selalu meriah. Selalu dengan letusan kembang api di langit, selama berlangsungnya festival. Dan selalu menyedot perhatian warga. Penonton bahkan datang dari luar Kabupaten Pidie.
Dua titik itu, meski pemerintah tak menjadikannya destinasi wisata minat khusus, bagi saya, sudah menjadi destination wishlist setiap tahunnya. Terutama semenjak kami tak lagi bisa melakukannya. Berwisata di kampung halaman.
Kamu akan menemukan satu keunikan di lokasi itu, pengunjung diberi kesempatan untuk menjadi Pasukan Tot Bude Trieng dan Tot Karbet.
Mengerikan, sejak beberapa tahun lalu, ada remaja maupun gadis, dengan beraninya memicu api dengan tangan telanjang.
Ya, mereka mencelupkan jari telunjuk ke minyak, kemudian menyentuh api, dan cepat-cepat menaruh jarinya di lubang pemicu ledakan meriam. Lalu, bum! Bumi Pidie bergoyang.
Sungguh, jiwa-jiwa Cut Njak Dhien itu tersalurkan di bantaran sungai.
Sejak beberapa tahun terakhir pula, agenda Tot Bude Trieng dan Tot Karbet di Kabupaten Pidie, Aceh, sudah digeser ke malam kedua Idul Fitri, juga dilarang pada malam Jumat.
Alasannya, malam pertama lebaran, masyarakat harus lebih dulu menggemakan takbiran. Kalau bisa, ikut memeriahkan Lomba Pawai Takbiran se-Pidie yang digelar pemerintah setempat.
***
“Bang Makmur, sumbang lee bacut.”
Seorang remaja desa saya, katakanlah panglima dalam festival perang rakyat itu, meminta sumbangan dana seikhlasnya untuk bantuan logistik, pada malam kedua Idul Fitri 1437 hijriah lalu.
Saya kembali teringat masa kecil. Sekarang, giliran mereka yang menggantikan posisi kami.
Mereka telah membuka babak baru dalam festival perang rakyat antara desa kami dengan desa tetangga, yang dulu pernah padam.
Sebagai pemuda Aceh, saya patut mendukung berseminya tradisi itu. Meskipun di sisi lain, orangtua, ibu-ibu hamil atau yang baru melahirkan, dan orang jantungan, akan mencak-mencak setiap mendengar ledakan dari tepi sungai desa.
Bahkan, mereka terpaksa mengungsi ke rumah tetangga di desa lain yang tak menggelar perang rakyat itu, jika memang tak memungkinkan untuk melawan tradisi itu. Ini biasanya dilakukan oleh warga Indrajaya dan Delima.
Saya pikir, Tot Bude Trieng dan Tot Karbet saat Lebaran di Aceh, sudah sepatutnya dipertimbangkan pemerintah, terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, menjadi salah satu kalender event pariwisata.
Itu bakal jadi pengisi list baru dalam culture tourism destination Aceh, yang sangat menarik bagi turis asing. Festival itu juga bagian dari Cahaya Aceh.
Toh, memang, letusan kembang api di langit Garot dan Aree yang saya lihat pada lebaran Idul Fitri yang lalu, sudah cukup menyatakan, atraksi itu benar-benar The Light of Aceh. Ups![]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Menurut info, thon ukeu hana di tot le, hana soe jak koh trieng le, aneuk miet ka gadoh jak mita pokemon, karbet 2,8 juta saboh drom, urg sumbang semakin berkurang. Khaaak
Nyan patut dikhawatirkan. Tapi mungkin Pokemon bisa dijadikan pengganti bahan baku karbit, hehe. Soal peng, bisa dikutip per gampong. Aleh nyoe. 😛
nyan si ovi kajeut didaulat sebagai fotografer safariku.. :))
Insyaallah asai bereh buet, akan kita ajak kemana pun kita bisa memberikan dia ruang untuk berkarya. 😀
Di tangse na chit piasan.nyoe
Lon yakin hampir di semua pelosok Pidie na piasan nyan. Di Tangse, gimana cerita lengkapnya Kak? Dishare di liza-fathia dong. 😀
piasan tiap lebaran ya.. sepanjang malam tam tum tam tum suaranya,
thanks fotonya, jadi tau gimana “pesta” nya 😀
Iya Kak, setiap Lebaran Idul Fitri, dilarang untuk Idul Adha.
Terima kasih kemabli, sewaktu-waktu mesti lihat sendiri itu. 😀
keren sekali emang di pidie, tapi sayang di tempat aku pada hilang tradisi model begini, sudah di gantikan dengan kembang api. hhhh
Yok Mus, tahun depan, ajak kawan2mu ‘studi banding’ ke Pidie, lalu populerkan lagi di Montasik. 😀