Perhatikan tiga bayangan kecil dekat riak, di situlah kami mandi.
Sebelumnya, saya baca dua postingan blogger Aceh tentang sisi lain Lhok Me. Citra Rahman, pemilik blog Backpacker Cilet-cilet, menuliskan kenikmatan Bermalam di Bukit Lhok Mee. Satu lagi, Muhammad Sahar, ia menulis Bermalam di Bukit Lubok di blognya Jelajah Aceh
Sore itu, saya memerhatikan, jika ditarik garis dari Pelabuhan Malahayati hingga Pantai Lhok Me, ada tujuh tebing yang menjorok jauh ke Samudera Hindia.
Baca Keindahan Lain Lhok Me Part 1
Secara berurutan dari barat: pertama, kita jumpai Tebing Kuta Lubok karena terdapat benteng peninggalan Belanda di sana; kedua, Tebing Amat Ramanyang karena langsung menghadap Batu Perahu Amat Ramanyang; ketiga sampai dengan ketujuh, disebut Tebing Lhok Me. Enam tebing terakhir berada di Bukit Lhok Me.
Nah, dari cerita dan foto yang diunggah, Citra bermalam di Tebing Amat Ramanyang sedangkan Sahar bermalam di Tebing Lhok Me. Jika mereka berada di tebing kedua dan keempat, maka hari itu, kami mandi di antara tebing keenam dan ketujuh.
Tebing terakhir paling kecil dan tak begitu menjorok ke laut. Saya bahkan, dari pantai kecil tempat kami mandi, bisa berenang melewati tebing itu dan mencapai Pantai Lhok Me.
Usai mandi, sekitar jam 5 sore, kami pun ingin mengeksplorasi keenam tebing tersisa. Pertama, kami menggapai tebing tempat Sahar berkemah. Di sana, kami benar-benar merasakan kedamaian.
Saya membayangkan bawa hammock (ayunan), dan mengikatnya di antara dua pohon, lalu tidur berbaring menatap gugusan awan di langit biru, oh syahdunya.
Tapi, hanya bisa membayangkan. Lantas kami lewati tebing ketiga yang tak kalah menarik pemandangannya. Dan yang paling eksotik dan fotogenik itu di tebing kedua, tempat Citra bermalam. Di Tebing Amat Ramanyang.
Tenda kunignya di antara dua pohon yang sore itu kami tidur-tiduran disana.
Tampak juga batu Perahu Amat Ramanyang di kanan tebing.
Kami dengan jelas bisa melihat batu yang menyembul di tengah teluk antara tebing pertama dan kedua ini. Menurut cerita tetua Aceh, batu itu adalah perahu Amat Ramanyang yang terbalik. Amat Ramanyang, sama halnya seperti Malin Kundang dalam legenda Jawa, adalah putra yang durhaka kepada orangtuanya sehingga dikutuk menjadi batu saat menyeberangi laut.Dari tebing ini, kami juga bisa memandangi Sabang yang kelihatan kecil sekali. Sementara di pinggiran tebing bagian bawah, beberapa pemancing menggoda gerombolan ikan dengan umpan.
Jauh ke depan tebing ketiga, kami melihat ikan pisang sesekali melompati di antara kerumunannya. Selagi ikan itu menghilang, kami menikmati angin menerpa tubuh, hampir membuat saya dan Saryulis nyaris tertidur di batang pohon di atas bukit.
Bersambung ke Keindahan Lain Lhok Me 3
Writer: Makmur Dimila
omaa. brat kangen jak woe. hahaha
Woe ju bek lale sinan. Puasa pih karap. Sie itek kuntilanak ka dipreh. Haha