Perlahan, matahari tenggelam di balik garis batas Samudera Hindia. Bagai orang yang mengakhiri mengintip sesuatu dari sebuah jendela. Langit menyemburkan cahaya jingga.
Lekas saya tinggalkan Pantai Suak Ribee, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Menuju Masjid Agung Baitul Makmur.
Di masjid ini saya tunaikan fardu ain. Pendar cahaya dari interior masjid ini cukup menenteramkan, saat semakin lama saya perhatikan.
Cahaya itukah yang dimaksud dari “Susuri Cahaya Aceh dari Pantai Barat” dalam famtrip saya bersama @wisataaceh dan timnya?
Bukan.
Cahaya Aceh yang kami telusuri, itu berupa daya tarik Aceh baik dari sisi alam, budaya, religi, dan masyarakatnya. Selaras dengan tagline baru pariwisata Aceh. Cahaya Aceh, filosofi dari “Rahmatan lil ‘alamiin”, rahmat bagi alam semesta.
***
Beberapa jam sebelum sampai Meulaboh, kami telah memulai perjalanan darat, atau road trip, dari Banda Aceh. Hingga lebih seminggu kemudian, kami menyisir pantai Barat Selatan Aceh, mulai dari Aceh Jaya sampai ke Pulau Banyak, Singkil.
Menemukan sejumlah titik atau momen “Cahaya Aceh” yang enjoyable dan memorable. Yang perlu dan bisa dinikmati oleh siapa saja, bahkan bagi nonmuslim.
Selama famtrip itu, kami belajar menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungan sosial. Begitulah makna perjalanan seharusnya.
Siapa yang Sadar Wisata di Pasi Saka?
Di Aceh Jaya, saya masih tertarik mengunjungi Pasi Saka—jika di-Indonesia-kan bermakna “Pantai Gula Pasir”.
Sedap-sedap ngeri saat merencanakan ke pantai (agak) tersembunyi ini, karena masih santer tersiar larangan mengunjungi destinasi pantai unik itu paska jatuhnya korban.
Ini menjadi pengalaman kedua saya ke Pasi Saka. Sebab dua tahun lalu, November 2014, pertama kalinya saya melepas hajat menjejak pasir yang selembut gula pasir di sana.
Tapi kali ini saya sedikit khawatir. Bukan karena cuaca kurang bagus. Tapi soal izin dari pihak gampong (desa).
Syukurnya, kami diizinkan Keuchik Gampong Jeumpheuk, Kecamatan Sampoinet, untuk pergi kesana.
Jeumpheuek adalah desa terakhir sebelum mencapai destinasi wisata itu, di KM 116, dari Jalan Nasional Aceh Selatan – Banda Aceh.
Diutuslah Hamdan, pemuda setempat yang juga seorang dari 10 anggota Kelompok Sadar Wisata (KSW) Sampoinet, memandu kami ke Pasi Saka.
Dia membawa kami melalui jalur yang berbeda di saat pertama saya ke sana. Kami tidak menyisir pantai di bekas Gampong Mata Ie yang disapu tsunami. Tapi kami dituntun memasuki semak-semak.
“Ini jalur baru untuk wisatawan ke Pasi Saka,” terang Hamdan.
Beberapa pekebun dengan roda dua pulang mendahului kami. Sementara, langkah saya mulai berat memasuki trek mendaki.
Rutenya terus menanjak. Saat rehat sejenak, saya berpaling, dan mendapati panorama Gampong Jeumpheuek di bawah sana. Waw juga.
“Biasanya ada jasa ojek yang membawa wisatawan dari bawah ke puncak ini,” pemuda berkulit gelap itu, seakan bisa membaca gelagat letih saya. “Tidak ada lagi, paska meninggalnya tiga turis.”
Hamdan lantas memandu kami berjalan kaki melewati jalur setapak. Melalui rute treking yang diapit pepohonan cemara berusia remaja di sisi tepi laut dan dinding perbukitan di kanan.
“Itu ya Pasi Saka-nya?” tanya seseorang dari kami, saat melihat pasir berwarna gelap di kiri.
Tentu saja, bukan. Kalau seperti itu, namanya menjadi Pasi Kopi—kan warnanya hitam.
Pasi Saka baru terlihat, setelah melewati dua bukit berilalang yang kering. Hingga tampak dua pohon ketapang menjulang di bibir tebing, yang kian menghalangi pandangan ke Pasi Saka di seberangnya.
Kami rehat sekejap, menatapi tebing-tebing unik yang mengapit pantai itu. Berbincang-bincang. Sambil menikmati kopi hitam panorama alam.
View-nya indah. Tapi ombaknya mengganas. Maklum, kami datang pada Musim Barat. Pada musim ini, angin bertiup kencang dari timur, dan gelombang laut kerap menggulung besar tiba-tiba.
Wajah langit sementara buram. Seburam kondisi objek wisata paling hits di Aceh Jaya ini.
“Setelah meninggalnya tiga pengunjung pada April lalu, kami tidak melarang wisatawan datang ke Pasi Saka dan kami juga tidak mengizinkannya,” saya teringat kata Safril, warga Jeumpheuek lainnya, ketika saya hubungi sebelum kemari.
Dia biasanya juga memandu pelancong ke Pasi Saka. Diceritanya, prahara itu terjadi pada 17 April 2016.
Dua perempuan muda dan seorang pria meninggal ditelan gelombang laut di sekitar objek wisata Pasi Saka.
Mereka dihempas ombak besar—yang muncul tiba-tiba dari belakang—saat sedang selfie di tebing dekat jurang laut.
Ketiganya bermain di titik terlarang. Masalahnya hari itu, sekelompok tur itu tidak ingin dipandu oleh guide dari KSW setempat, yang lazimnya menemani turis ke Pasi Saka.
“Mereka tidak ingin ditemani saat itu, karena seorang dari mereka beralasan dia pernah ke Pasi Saka, jadi tidak butuh dipandu,” tambah Hamdan, menunjuk lokasi maut itu di balik tebing—tapi tak tampak.
Saya sadar, malapetaka itu mengingatkan kami: bahwa bukan hanya masyarakat di objek wisata yang dituntut sadar wisata, tapi juga paling penting, pelancong wajib sadar wisata.
Sayang sekali jika #Cahaya Aceh dari pesona alam Pasi Saka itu padam, hanya gara-gara segelintir masyarakat yang menganggap remeh peunutoh a.k.a nasihat warga lokal.
Selagi kami bersantai, sekelompok wisatawan muncul dari jalur lain. “Siapa mereka?” Hamdan celinguk, mengamati ke arah hutan jauh dari tempat kami duduk.
Saya menebak, apakah mereka warga lokal yang akan menyuruh kami pulang?
“O, itu sepertinya bukan warga,” Hamdan cepan mengklarifikasi. “Ya, sebelumnya mereka pernah kesini,” dia mengenali mereka.
Turis lokal itu kemudian langsung turun ke Pasi Saka. Kami pun menyusul. Debur ombak mendebam, riaknya menjalar cepat.
Tapi ah, butiran pasirnya masih selembut tangan kamu saat saya kunjungi pada November 2014. Saya seakan-akan berjalan di atas padang gula pasir.
Di atas permadani hamparan gula yang tanpa dikerubungi semut—rasanya tetap asin laut—tetapi disasar para wisatawan dalam dua tahun terakhir.
Hamdan memberi kejutan. Dia ajak kami menaiki tebing paling ujung. Spot paling tinggi, melihat lengkungan Pasi Saka dari sudut berbeda, dari sudut lebih jauh. Namun di bawah sana, ombak menampar tebing sekeras-kerasnya.
“Sempat turis asing mencoba surfing di sekitar Pasi Saka,” ceritanya dari puncak.
Turis itu tak ada yang berhasil, tebing-tebing di halaman Pasi Saka cukup cadas, dan gulungannya ombaknya tidak panjang. “Kaki mereka luka-luka,” tambahnya.
Hamdan tampak semangat dengan geliat turisme di sini. Ketika melambungnya nama Pasi Saka sejak 2015, dia dan kawan-kawan bisa menghasilkan pendapatan sampai Rp5 juta/bulan dari hasil melayani wisatawan.
“Warga dari desa tetangga pun cemburu,” imbuhnya.
Kecemburuan sosial itu pula yang membuat warga Jeumpheuek melesu dalam mengembangkan pariwisata, di samping petaka meninggalnya tiga turis lokal beberapa bulan silam.
Tapi saya berharap, Hamdan dan kawan-kawan KSW-nya serta pihak gampong, masih bisa menghadirkan wisatawan ke Pasi Saka. Kejadian April lalu cukup menjadi pelajaran bagi calon pengunjung lainnya.
“Kemarin sudah kami sampaikan ke Dishubkomintelbudpar Aceh Jaya, supaya tempat ini dibuka lagi secara resmi,” Hamdan menabur harapan.
“Tapi ini sedang sibuk-sibuknya politik menjelang Pilkada. Respons mereka: akan dipikirkan lagi tahun depan,” sambungnya.
Duh, politik.
“Mari dukung Aceh sebagai World’s Best Halal Cultural Destination 2016”
ADDITIONAL INFORMATION
- Selanjutnya jika ingin ke Pasi Saka, pengunjung wajib lapor ke Keuchik Jeumpheuk, untuk diarahkan dengan siapa dan bagaimana cara mencapai lokasi objek wisata itu.
- Bawalah bekal sendiri ke Pasi Saka, dengan membelinya di supermarket atau kedai-kedai yang dijumpai di Jalan Nasional Banda Aceh – Aceh Selatan.
- Saat seramai sebelum kejadian naas itu, satu kelompok turis dikenakan biaya Rp150 ribu/trip (maks 10 orang). Sekarang, beri saja sesuai dengan pelayanan sang pemandu, jika tak ingin dikatakan seikhlasnya.
- Sebaiknya datang di Musim Timur, ketika angin bertiup dari barat, sehingga laut tidak bergelombang.
- Datang di musim angin apapun, wisatawan dilarang mandi di Pasi Saka, karena arusnya dalam.
- Pantai ini cocok untuk camping ground, trekking, dan x-trail/tourbike.
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu ?
Cukup berkesan seakan saya diajak untuk bermain di pasir gula ini, walaupun kenyataannya saya belum kesana. 🙂
Hehe, memang harus membuat pembaca seakan2 sedang bermain pasir, meskipun ia tidak sedang di sana. Then, jak lah keunoe, Pasi Saka. 😀
Nak lagi lagi ke sana
Jom, pergi lagi, jangan lupa ajak keluarga, hehehe.
I read your article like I’m reading the Wikipedia for traveling. Safariku.com should be a lonelyplanet.com that came from Aceh. I felt in love for the sand on Pasi Saka Beach.
Thanks, Dude, have enyoyed my words. Wish this page could be as good as it looks like! Even I hope this site would be better in tomorrow. Amiin 😀