SEMINGGU kemudian, Yanti membawa beberapa relawan baru ke Desa Dedingin Kecamatan Kute Panang Aceh Tengah. Saya juga bergabung. Kali ini, kami menyalurkan bantuan parsel lebaran dari LSM di Banda Aceh.
Kami tiba di Dedingan pada Minggu 4 Agustus 2013. Warga setempat menyambut kami dengan baik.
Dedingin terletak sekitar 25 km perjalanan dari Ratawali (perkotaan) dan berada 1.400 meter di atas permukaan laut, lebih rendah 1.100 meter dari Gunung Burni Telong yang menghadap kampung ini. Gempa Juli lalu melukai satu warga.
Menurut pendataan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gajah Putih (Mahagapa), saat itu, Dedingin kurang mendapat perhatian pascagempa. Kebanyakan mata dunia pasti tertuju ke kampung runtuh di Kecamatan Ketol: Serempah dan Bah, tempat Care Anak Gayo menyalurkan bantuan selama tiga minggu pertama puasa.
Kesulitan medan menuju Dedingin dibayar keramahan warga setempat. Sopir kami yang disapa Bang Ribut memarkirkan moto geurubak (sejenis truck colt mini) di depan rumah Pak Dus, sapaan untuk Zainuddin.
Usai distribusi parsel sumbangan LSM di Banda Aceh, Pak Dus membujuk kami agar sama-sama menyiapkan buka puasa di rumahnya.
Di samping rumah Pak Dus, ada kamar mandi berkonstruksi kayu. Satu persatu, kami mengaliri tubuh dengan air yang dingin menusuk tulang. Dibantu cahaya lilin dan lampu teplok, kami berbuka puasa bersama. Secangkir kopi arabica khas Gayo, sepiring bubur kajang ijo, tentu nasi dan lauknya.
Malam, warga Dedingin dari tiga dusun, Celala, Reudok, dan Rimbune, salat tarawih di meunasah darurat yang terbuat dari tenda biru, persis di samping meunasah yang runtuh akibat gempa. Sebagian pria ngiru (muniru) di sebuah tenda kecil di halaman meunasah usai salat jamaah.
“Hari ini kalian bantu kami, siapa tahu ke depan, kami yang harus membantu kalian,” ucap Yacob, sembari menyilangkan lengannya di atas api unggun.
“Kami berharap, adek ingat-ingatlah kami nanti, siapa tahu jadi orang sukses. Ingatlah bahwa pernah di Dedingin,” sambungnya.
Saya hanya tersenyum dan mengamini pintanya.
Senin pagi, Yanti mengarahkan kawan-kawan untuk trauma healing bagi anak-anak. Para relawan memberikan beberapa gem yang membuat anak-anak tertawa, semua akan diberikan hadiah untuk menunjang pendidikan. Ketika istirahat, saya sempat belajar didong bersama anak-anak Dedingin dalam tenda darurat. Oh, menyenangkan.
Ditemani ibu-ibu. FOTO: Ahmad Ariska |
Dan, yang saya tunggu-tunggu, relawan Care Anak Gayo akhirnya mendongeng mitigasi bencana. Yanti menjadi dalang. Ia bercerita dengan boneka jari Juki & Gagah yang lebih mirip wayang. Kenapa terjadi gempa, apa yang harus dipersiapkan, dan bagaimana ketika gempa. Anak-anak antusias belajar berdongeng.
Kak Yanti: “Saya Juki. Teman saya namanya Gagah.. :D” |
Juki: “Nama kamu siapaaa? :D” |
Lucunya ekspresi abang/kakak relawan dan bocah-bocah. 😀 |
Pose bareng di muka rumah Pak Dus, sebelum pamit. FOTO: Ahmad Ariska |
Narsis di luar Masjid Agung Kota Takengon, sebelum berbuka puasa. 😀 FOTO: Bang Ribut |
Senin sore kami pamitan. Kembali ke Banda Aceh dengan mobil geureubhak. Pertemuan singkat yang cukup berarti. Berbagai kondisi di tanah bencana mengajarkan para relawan menyesuaikan diri dengan alam. Keep smile, Gayo J[Makmur Dimila]
Sebelumnya baca di sini.