Barangkali saya harus berterimakasih kepada ‘bosan’ karena untuk menampik perasaan ini kemudian saya melajukan motor matik menuju sebuah pasar yang cukup istimewa, pasar yang hanya ada sekali dalam seminggu. Jujur saja belanja bukanlah tujuan saya, tapi berjalan-jalan di antara keramaian pasar setidaknya akan mengobati penat di kepala.
Pasar ini berada di Kayu Beriring, Desa Blang Sentang, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Kita tidak akan pernah menjumpai pasar ini jika tidak di tempat dan hari yang tepat, karena pasar ini sama sekali tidak berada di zona pedesaan melainkan di persawahan atau ladang. Satu lagi, pasar di sini hanya digelar pada hari Kamis, pagi hingga siang hari saja.
Untung saja, tidak terlalu sulit mengetahui pasar mingguan ini karena berada di seberang GOS (Gedung Olahraga dan Seni) kompleks Pendopo Bupati Bener Meriah.
Saya memarkirkan motor di tepi jalan dan menitipkannya pada petugas parkir. Lantas saya masuk ke lorong yang telah ramai pedagang. Benar saja, lorong yang saya taksir berlebar sekitar 6 meter menjadi tempat pedagang menggelar dagangan di sepanjang kedua sisinya.
Dengan merakit tiang-tiang kayu, tali dan terpal sedemikian rupa, mereka menciptakan tenda untuk melindungi dari sengat matahari atau hujan dan juga untuk menyematkan dagangan. Prinsipnya mereka persis pedagang kaki lima dengan lokasi yang telah dilegalkan, tidak akan ada trantip atau satpol PP yang akan mengusir bahkan menggusur.
Menyusuri lorong sambil cuci mata dan memotret, saya sempat berbicara dengan salah satu pedagang pakaian. Darinya saya dikenalkan dengan Cik Penta, koordinator pekan. Di sini, pasar mingguan ini akrab disebut pekan. Dari bahasanya, mereka kukenali dari Minang.
Cik Penta menyapaku ramah. Dia mengira saya adalah wartawan karena saya memotret dan bertanya pada para pedagang. Beruntung sekali saya bisa berbicara langsung dengan koordinator pekan. Cik Penta juga seorang pedagang pakaian.
Sudah lama berdagang di sini, Bang?” Saya bertanya sambil menyalaminya.
“Ya, kalo di sini baru tiga kali, kami baru dipindahkan kesini,” jawab Cik Penta.
Saya ngobrol santai dengan Cik Penta, soal pekerjaan yang digelutinya juga tentang relokasi ini. Mulanya setiap hari Kamis, mereka menggelar dagangan di Pasar Simpang Tiga Redelong. Namun sejak akhir Januari 2015, mereka dipindahkan Pemda dengan alasan keluhan dari pemilik ruko (rumah toko) Pasar Simpang Tiga.
“Saat ini mungkin agak sepi, barangkali karena relokasi atau belum berbuah kopi, makanya tidak banyak yang belanja. Nanti kalo sudah musim panen kopi biasanya banyak pembeli,” terang pria berambut keriting itu.
Bener Meriah salah satu daerah penghasil kopi arabika gayo terbaik. Mayoritas warganya petani kopi. Tidak heran, ekonomi masyarakat tergantung dari pertanian terutama kopi. Musim panen hanya sekali dalam setahun, biasanya pada awal bulan April hingga Juni. Sementara menanti kopi memerah, kebanyakan petani beralih menanam tanaman berumur pendek seperti tomat, bawang, cabai, kol, jagung.
Atau jika di musim penghujan, mereka menggarap sawah. Di sini umumnya dimulai sejak pascapanen kopi, dari Juli hingga Desember. Seperti di sekitar pekan ini, mulanya ini adalah area persawahan yang kemudian ditanami palawija karena telah memasuki musim kemarau Unik sekali, ada pasar di tengah ladang.
Di Bener Meriah ternyata ada 4 titik pekan. Mereka menggelar dagangannya pada hari berbeda.
Senin di Pondok Baru, Selasa di Buntol, Kamis di sini, dan Minggu di Simpang Balek. Kalo hari-hari lain ya jualan di Takengon,” jelas Cik Penta.
Saat saya bertanya soal perbedaan jumlah transaksi jual-beli antara di sini dan di Simpang Tiga, sama saja, jawabnya. Hanya saja dia khawatirkan jika ada angin kencang, karena tak ada penghalang seperti gedung ruko beton. Bisa-bisa dagangan mereka dibawa angin, apalagi jualan di lapangan yang luas.
“Jadi ingin dipindah lagi gak, Bang?”,
”Enggak, sudah bagus di sini. Kami juga gak mau digiring dan ditendang kaya bola. Lagipula katanya tanah persawahan ini akan dijadikan pasar permanen,” dia menunjukkan hamparan tanah ladang yang telah ditanami cabai yang sedang berbunga.
Usai ngobrol bersama Cik Penta, saya melanjutkan cuci mata. Tidak hanya pakaian yang dijual di pekan. Mulai dari sendal, peralatan dapur, peralatan pertanian, perlengkapan sekolah dan perbengkelan, sayur, ikan asin, ikan segar, buah-buahan. Segala makanan ringan dan minuman seperti cendol dan es campur, bumbu dapur juga bibit tanaman hias, mainan serta kosmetik, pun ada di sini.
Tentu saja tak ketinggalan pakaian bekas yang pembelinya tak pernah sepi. Di sini pakaian bekas disebut dengan monza. Bagi sebagian orang, membeli monza adalah tujuan utama ke Pekan.
“Duduk berlama-lama hingga mendapatkan pakaian ‘bagus’ di dalam tumpukan dengan harga yang murah adalah seni tersendiri dalam berbelanja.”
Ada juga yang menjual bongkahan batu akik/giok dan ring cincinnya. Fenomena tren batu akik/giok di Indonesia ternyata tidak hanya mempengaruhi orang dewasa.
Di Pekan Kamis ini, saya melihat anak kecil yang merengek ke ibunya untuk dibelikan cincin giok. Kata ibunya dia lebih memilih dibelikan cincin dari pada mobil-mobilan, untung saja ada pedangang cincin giok tiruan dengan harga sepuluh ribuan.
Puas menyusuri lorong, saya merasa haus. Barangkali berjalan di lorong yang panjang dan di bawah terik matahari musim kemarau membuat saya sedikit lelah. Syukur saya melihat penjual cendol dan membelinya.
Cendol lima ribuan per bungkus ini bisa melegakan dahaga saya. Padahal jika membawa sedikit uang, saya akan membeli beberapa bungkus mi pecel dan kue-kue basah.
Setidaknya rasa penat saya telah terobati dengan berjalan-jalan di Pekan Kamis ini. Saya pikir pasar ini tidak kalah dengan mal di kota-kota besar untuk dijadikan tempat hang out.[]
Writer : Rasnadi Nasry
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂