Padang rumput hijau melapisi perbukitan yang berlekuk-lekuk. Pohon tumbuh jarang-jarang di titik berbeda. Satu tepian bukit dijilat perairan Sungai Murray. Pemandangan seperti di lapangan golf ini saya lihat dari rumah pasangan suami-istri pengusaha ternak, Julie de Hennin dan Jim de Hennin.
“My name in English its mean ‘prosperous’,” ujar saya menjelaskan makna nama saya kepada Jim. Dia mengernyitkan kening.
“Rich?”
“Yup.”
“Oh, haha. Nice to meet you.”
Dia menepuk pundak saya, lalu menuntun kami ke rumahnya. Rumah berkonstruksi kayu. Seperti susunan kubus yang berdempetan. Di atas permukaan tanah subur pada ketinggian sekitar 150 meter di atas permukaan laut. Banyak jenis tanaman tumbuh di halaman. Kami berkumpul di teras, yang dipayungi kanopi beratap tanaman jalar, untuk makan siang.
Sekitar lima jam lalu, saya dan beberapa teman meninggalkan Pusat Kota Albury-Wodonga, New South Wales, Australia. Dalam perjalanan, kami sempat melipir ke Bendungan Hume.
Bendungan yang rampung dibangun pada 1936 itu mampu menampung berjuta megaliter air untuk irigasi pertanian dan suplai air ke Kota Albury-Wodonga. Juga untuk mencegah kebakaran Lembah Murray. Airnya bersumber dari Danau Hume yang bermuara ke Sungai Murray, kelak sungai ini menjadi sumber air bagi bisnis pasangan de Hennin.
Danau Hume yang mengular di antara Lembah Murray dan perbukitan, terus terlihat dari kaca jendela mobil saat kami melanjutkan perjalanan ke Dataran Tinggi Talgarno, yang menjadi ladang duit bagi sejumlah petani dan peternak.
Kami disambut Julie dan Jim di halaman area peternakan mereka. Julie yang beruban tampak gagah dengan kemeja pink dan jins biru yang dikenakannya. Ia didampingi Jim yang juga beruban, dengan kemeja biru seperti warna langit hari itu. Namun Julie tampak lebih energik ketika saling bergantian bercerita.
Julie dan Jim mulanya membeli tanah di dataran agak rendah, di tepi Sungai Murray. Selagi merintis usaha, mereka pun mempererat hubungan cinta, hingga memutuskan menikah lima tahun kemudian—25 tahun yang lalu—setelah menyelesaikan biaya kredit lahan.
Ketika mulai hasilkan pundi-pundi dolar australia dari usaha ternak, mereka beli lahan di dataran tinggi, termasuk bukit yang tengah kami daki. Dari ketinggian 200 mdpl bukit ini, kami bagai berada di lokasi wisata.
Di kejauhan membentang panorama perbukitan dengan aliran Sungai Murray di kakinya. Ladang peternakan dengan gerombolan sapi dan domba mengerat rumput tampak agak jauh di kaki bukit. Terlihat pula gerombolan sapi belang di lahan peternakan Journama yang lain.
Mereka kini memiliki 80 sapi dewasa—dua di antaranya sapi jantan—dan 80 anak sapi, selain ratusan domba. Namun bisnis mereka di beberapa lahan dengan luas total 146 hektare itu, lebih fokus pada penjualan daging domba dan susu sapi. Sesekali jual bulu domba dan anak sapi.
Ozzy dan Janky
Kami lalu dibawa ke rumah mereka, hanya 3 menit berkendara dari lahan ternak tadi. Kami diperlihatkan beberapa lahan milik usaha mereka yang bernama Journama. Di salah satu lahan terdekat dengan rumah, kami dipertemukan dengan dua alpaka berusia 9 tahun.
“Ozzy, come on!”
Julie berteriak, memanggil alpaka putih yang berada sekitar 100 meter dari kami di antara kawanan domba. Lehernya panjang seperti unta tapi badannya mirip rusa.
Setelah dipanggil beberapa kali, Ozzy lari meraih pelukan Julie. Alpaka hitam bernama Janky namun bertubuh lebih kecil, menyusulnya.
“Dua alpaka ini bertugas melindungi domba dari ancaman satwa liar,” sebut Jim.
Kami berdiri di pagar lahan, berburu gambar alpaka. Kepincut dengan Jim yang dicium Ozzy pada kedua pipinya, kami ingin ambil foto selfie dengannya. Tapi hanya Agusta Bunai, teman saya Papua Barat, yang berhasil mendapat kecupan Ozzy. Saya cuma dapat selfie yang agak buru-buru.
Setelah itu, kami diajak makan siang bersama, dengan menu Australia-Indonesia. Ada tiga model nasi disuguhkan: nasi goreng, nasi gurih, dan nasi gandum yang butirannya hampir sebesar biji jagung.
Saya tertarik dengan menu terakhir itu. Pun saya mencoba kuah labu kuning, kopi eropa—lupa dari negara mana—yang tak seenak kopi aceh tentunya. Selagi makan, Julie melanjutkan cerita hidupnya.
“Saya tinggal di sini dan melakukan ini semua karena saya cinta binatang, cinta pada semua yang ada di sini,” tutur Julie saat ditanyai kenapa ia memilih beternak. “Sehingga saya mampu bertahan di bisnis ini meskipun saudara kandung saya tak mendukung,” sambungnya.
Di Australia, ujarnya, pertanian ialah pekerjaan mahal. Generasi muda enggan jadi petani karena butuh biaya besar, terutama untuk beli lahan. Selain itu, anak petani pun banyak memilih hidup ke kota daripada meneruskan tradisi orangtuanya.
Julie dan Jim juga merasa beruntung tinggal bersama kelompok “Neighbourhood Watch”, kumpulan tetangga yang saling menjaga dan membantu sesama. Kondisi hidup damai itu turut berkontribusi bagi pesatnya pertumbuhan agrowisata di Australia.
Kunjungan kami pun bikin haru Julie dan Jim. Sehingga saat kami pamit pulang, keduanya terlihat berat dengan perpisahan begitu cepat. Lambaian tangan mereka melambat seiring mobil menjauh. Saya hanya bisa mengenang pengalaman 21 Mei 2015 itu.
There’s nothing like Australia.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Australia memang sumbernya sapi, sapi disini juga pada dari Australi heheh
btw enak tuh jalan2 kesana, aku juga mau entar 😀
Iya kebanyakan sapi Australia diekspor ke Indonesia. Ayo Mas, pasti menarik. 😀
Mantap nih pengalamannya.
Kayanya boleh juga suatu saat dicoba.
Tapi aku mau di negara jepang aja, biar dikasih makannya sushi.
Iya makasih Mas.
Harus dicoba, yang penting ke luar negeri, terserah negara mana. Jepang ada sushi, Aussy punya sapi 😀
Hahaha, emang Australia banya sapinya ya.
Tapi suasana apapun juga tak bisa mengalahkan hangatnya kampung halaman, tuh buktinya ngaku kalau kopi Aceh jauh lebih enak dari kuah labu kuning dan sejenisnya. hehe
Negeri-nya Kangguru, ekspornya lembu. 😀
Kampung halaman sendiri memang hangat, namun kehangatan baru juga diperoleh di kampung halaman lain. Yowes, kopi aceh memang dikenal enak sama dunia. #Ceileee 😀