Mari sejenak berpantun π
Jalan-jalan ke Dataran Tinggi
Jangan lupa bawa pulang kopi
Pagi-pagi pergi ke Pasar Pagi
Jangan lupa singgah di sini …
Pasar Pagi adalah tujuan kedua kami pada jam 7, Minggu 12 Oktober 2014. Seharusnya pada jam yang sama, saya dan Bang Rinaldi bergabung dengan official Aceh Bike Cross Country II untuk menuju lokasi start di Bener Meriah, meliput acara itu untuk Aceh Tourism Magazine. Tapi belum semua peserta ngumpul, lantas kami wet-wet dulu.
Salah satu pusat keramaian di Kota Takengon yang terkenal yaitu Pasar Pagi, nama satu desa di Kecamatan Lut Tawar sekaligus menjadi nama pasar tradisional. Di sana, kami menemukan beragam aktivitas masyarakat yang menjual atau dan membeli. Mulai dari pasar ikan, rempah-rempah, pakaian, hingga alat rumah tangga yang digelar di ruas jalan, di antara pertokoan.
Diam-diam, saya merekam seorang bocah yang sedang sarapan, dengan iPadmini. Dia tak tahu sampai saya jepret tiga kali. Hanya penjual sayur di samping yang tertawa takjub meliht ulah saya. Tak ada hawa dingin yang menusuk kulit saya yang terbalut dua lapis baju tipis. Barangkali karena padatnya orang di sini. #sehingga dinginnya dibagi rata dan diserap oleh pribumi yang mengenakan baju tebal dan topi kupluk.
Seperti bocah Cina, kan? π |
Pada salah satu titik, saya juga sempat melihat proses penghalusan kopi di salah satu pabrik penggilingan. Aroma arabika bikin saya ingin langsung ke perkebunan kopi, ingin tahu bagaimana proses perawatannya. Tapi kami tidak bertugas meliput penanaman kopi. Huhu.
Sebelum ke Pasar Pagi, kami memotret suasana dari Jembatan Bale. Jembatan baja yang menghubungkan Desa Pasar Pagi dengan Desa Bale Hakim. Dua desa ini terpisah Krueng Peusangan, yaitu sungai landai yang berhulu dari Danau Lut Tawar mengalir ke Peusangan, Kabupaten Bireuen.
Suasana ceriwis terlihat dari jembatan kecil tak jauh dari jembatan baja. Warga menyeberang berjalan kaki atau berkendara. Di bawahnya, ibu-ibu mencuci pakaian di tepi sungai berair jernih. Saya bisa melihat burung terbang di udara hanya dengan menatap permukaan sungai itu, di antara sampah-sampah plastik pada dasar sungai.
Tiba-tiba, seorang pria mendayung sampan dari arah danau. Ia melewati kami dan hinggap di tepi sungai yang ditumbuhi eceng gondok, bersebelahan dengan pencuci pakaian. Tanaman itu dipetiknya dan dimuat ke sampan yang lebih mirip kano itu. Esok pagi, kami kembali ke Jembatan Bale. Kano kembali melintasi sungai ini, namun dari arah berlawanan (lihat foto master).
Tak hanya aktivitas warga, panorama sekitar juga tampak syahdu ketika kami hunting di Jembatan Bale. Di selatan, saya bisa melihat tulisan βGayo Highlandβ di Puncak Burni Gayo, yang huruf βdβ telah raib. Di utara, gugusan awan menggantung di atas perumahan warga.
‘Gayo Highlan’ harus ngintip ya? π Ada tuh di atas. π |
Hm.. Tanah Gayo memang membuat saya ingin kembali ke sana, banyak cerita yang belum saya gali. Ayo bersafari ke Aceh. π
Writer : Makmur Dimila
Bagi saya ke pasar tradisional adalah sama dengan berwisata. Jika saya pergi ke suatu tempat, baik di Jawa atau Luar Jawa, saya selalu semopatkan untuk mengunjungi pasar di pagi hari daerah tersebut.
Banyak keunikan yang saya dapat dari pasar pagi. Barang dagangan khas yang dijula, tempatnya, atau lalu lalang para pembeli bagi saya menjadi daya tarik tersendiri. Seperti di kota Pangkalpinang, terdapat Pasar Kampung Asam yang unik.
Ya, kan, itu masuk wisata belanja. Hehe.
Kangen Takengon π
Yoklah kita jalan2 ke Takengon lagi, haahaa. Minta pindah aja ke Aceh lagi hehe