KETIKA di Jogja, saya mengalami banyak hal. Poin inilah salah satu sisi menarik dari perjalanan. Saat itu, awal Oktober 2011, barangkali saya pemuda yang sangat hebat dari Banda Aceh. Saya masih berumur 21 dan baru setengah tahun bergelut di dunia jurnalistik, tapi sudah dapat penghargaan jurnalistik.
Orangtua pun merasa tak sia-sia mengizinkan saya kuliah ke Banda Aceh. Di IAIN Ar-Raniry, juga mengambil kursus jurnalistik selama enam bulan di Muharram Journalism College (MJC) pada 2010. Berkat satu tulisan panjang, saya terbang gratis bersama Lion Air.
Bagai tamu agung, ke-10 wartawan penerima beasiswa turut diundang ke Keraton Kediaman Sri Sultan Hamengkubuwono X. Temu ramah antara pemimpin Jogja dengan seribuan peserta Pernas AIDS dari berbagai komunitas, sebelum acara dua tahunan itu dimulai besoknya.
Hotel Inna Garuda, venue Pernas AIDS IV, dekat dengan Malioboro. Kala malam, jalan-jalan ke sana adalah pilihan terbaik. Saya dan kawan-kawan pers, menyisir sudut-sudut Malioboro. Masyarakat berbagai latar menggantungkan dan menikmati hidup di pusat keramaian itu.
Para seniman jalanan berlomba-lomba merebut hati para turis lokal dan asing yang menikmati malam Malioboro sebelum jam sepuluh. Mereka terinspirasi titah penyanyi legendaris Iwan Fals dan Koes Ploes yang memulai keusuksesan dengan “ngamen” di Malioboro.
Para pelukis sketsa, penyanyi solo dan grup, grup angklung, dan penawar jasa jalanan lainnya, mendatangi gerai-gerai angkringan di tepi Jalan Malioboro. Sepatu kuda berderap menarik delman yang membawa turis. Pejalan kaki berbaur. Tak ada keributan, kecuali penjaja suvenir khas Jogja di sepanjang jalur bagi pejalan kaki.
Setelah jam sepuluh malam, Malioboro keburu sepi. Tapi ada satu kawasan yang penuh keramaian terselubung. Pasar Kembang. Setelah jam sepuluh malam, ada satu gang di antara ruko yang dimasuki lelaki haus orgasme. Dan meliuk-liuk sampai ke dalam, entah kapan akan ditutup seperti Gang Dolly?
Keramaian daerah istimewa ini terlihat mulai jam 6 pagi. Saya melihatnya dari hotel di lantai tujuh. Mereka beraktivitas dan saya menjalankan tugas sebagai anggota Tim Media Center Pernas AIDS IV, meliput kegiatan itu dan laporan kami dimuat di satu halaman khusus Pernas di Harian Kedaulatan Rakyat. Saya juga mengirimkan catatan ringan beraroma feature ke Harian Aceh.
Suatu hari, kami pelisir ke Jawa Tengah, kunjungi warisan budaya dunia nomor 592, Candi Borobudur. Sayangnya, kamera yang saya bawa hari itu tertinggal kartu memori di hotel. Tak ada lagi foto kami memakai batik di pinggang, hal wajib yang harus dilakoni setiap pengunjung Borobudur. Rasanya pengen lagi ke sana hanya untuk berfoto ria. 😀
Ketika di Jogja, saya tak hanya dapat pengalaman dan teman. Melainkan juga uang. Ya, kami setidaknya diberikan honor masing-masing Rp 2 juta, lebih kurang. Uang yang banyak bagi saya saat itu. Bahkan, saya membelanjakan seperempat dari uang saku itu sebelum meninggalkan Jogja. Oleh-oleh untuk keluarga dan teman.
Pakaian di sana murah-murah, saya gaet sejumlah batik dan aksesoris. Bersyukurlah yang dekat dengan saya saat itu, semua kebagian.
Pulang dari sana, keluarga bangga, megah sampai ke kampung. Teman di lingkungan kerja juga kuliah, menyanjung-nyanjung.
Tapi.. itu sebagian kecil kisah gemilang saya dulu. Sekarang? Saya sedang tak seperti itu. Persoalannya adalah jika ditanya orang siapa kamu, jangan jawab kamu yang dulu, tapi buktikan siapa kamu yang sekarang. Dan saya merindukan kegemilangan masa itu hadir lagi sekarang dan hari mendatang. Amiin. [Makmur Dimila]
One thought on “When in Jogja (2)”