Pengalaman tak terlupakan bisa menyaksikan langsung tarian saman kolosal. Apalagi warisan dunia takbenda ini ditampilkan di daerah kelahirannya, Tanah Gayo.
Oleh Makmur Dimila
SAYA merinding cukup lama ketika melihat sepuluh ribu lebih lelaki, dari usia renta hingga bocah, menarikan saman serentak di lapangan hijau berlatar bukit barisan Gunung Leuser yang dipayungi awan tebal bulan Agustus.
Bagaimana bisa, orang sebanyak itu duduk rapat-rapat di lapangan bola kaki, terutama anak-anak, melakukan tarian mengandalkan gerakan tangan dan badan dalam waktu bersamaan?
Pada Maret lalu, saat singgah untuk ngopi di kedai kopi di Puncak Kafewe, Pantan Cuaca, Gayo Lues, dua bocah usia sekolah dasar (SD) menyita perhatian saya.
Mereka bersimpuh di atas rangkang—tempat duduk dari papan. Lalu menepuk-nepuk kedua paha sementara tangan menyilang di dada. Seorang dari mereka membaca syair saman berbahasa Gayo. Lalu dengan ritme cepat, mereka goyangkan badan sambil memukul dada.
“Di sekolah, kami belajar tari saman sejak kelas empat,” kata bocah pembaca syair itu kepada saya, “setiap hari Sabtu,” dia mendetailkan. Namanya Nurmansyah, berusia 9 tahun, asal Pantan Cuaca.
Saya salut. Anak-anak Gayo Lues sudah diajarkan merawat budayanya semenjak duduk di bangku SD. Kebiasaan ini mungkin tak dilakukan di daerah Aceh lainnya, untuk melestarikan kearifan lokal masing-masing.
Kemudian saya tak lagi heran ketika menyaksikan sekitar 15 persen (mungkin lebih) anak-anak usia SD sejajar bahu dengan pria dewasa dalam barisan 12 ribu lebih penari saman, Minggu, 13 Agustus 2017.
Tapi benarkah bocah-bocah itu mendapat pendidikan tari saman hanya dari bangku sekolah?
SAYA mencari jawabannya di Stadion Seribu Bukit, Blangkejeren, Gayo Lues.
Sabtu pagi, H-1 pagelaran Tari Saman 10.001, saya mulai menyasar beberapa penari. Namun mereka lebih dulu membuat saya yang kelahiran Pidie ini takjub.
Bulu kuduk saya berdiri menyaksikan sepuluh ribu lebih lelaki berpakaian kerawang gayo: diperkuat oleh teleng (pengikat kepala), kaos, celana, yang didominasi warna merah-hitam-kuning. Lautan manusia yang sekilas mirip cabai merah dijemur di halaman rumah.
Gerakan-gerakan yang saya lihat dari Nurmansyah di Kafewe kemudian saya lihat juga di stadion ini dengan atmosfir Gayo yang lebih kuat. Saya tak dapat memindahkan pandangan ke lain sudut.
Barisan penari saman terkadang bagai gelombang laut—Laut Merah?—menggulung hingga ke tepi pantai. Suara merdu para pemandu melantunkan syair saman dari panggung membuat saya makin merinding. Itu baru geladi bersih.
Geladi resik itu diikuti 10.447 penari dari 4 kabupaten, 11 kecamatan, 145 desa.
Usai geladi, saya bertemu Mat Prang. Dia ketua rombongan penari saman dari Kecamatan Blang Pegayon, Gayo Lues. Lehernya dililit syal bertuliskan Sebujang Runner Up II Gayo Lues 2016.
“Kami satu kecamatan cuma latihan empat pertemuan, tak butuh waktu lama,” ujar Mat Prang. “Kami sudah dikenalkan tari saman sejak kecil oleh orang tua kami.”
Dia yakin, semua rombongan penari dari daerah lain pun tak kesulitan dalam menari serentak.
Sudah itu, saya keliling lapangan beberapa menit, mencari Nurmansyah. Namun tak terlihat batang hidungnya.
MINGGU pagi, saya masih tak bisa melepas pandang dari wajah-wajah cilik di barisan terdepan.
Mereka bersejajar bahu bersiap-siap menampilkan saman, ikut mencatatkan rekor penari terbanyak di dunia.
Aksi mereka disaksikan perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Komisi 10 DPR RI, Gubernur Aceh, unsur SKPA dan SKPK.
Pemberitaan media massa dan media sosial pada H-1 menuai hasil sempurna. Bagai kolam dipenuhi ikan lapar, Stadion Seribu Bukit disesaki pengunjung dari dalam dan luar Dataran Tinggi Gayo.
Ibnu Hasim, Bupati Gayo Lues, mungkin orang paling bahagia atas terselenggaranya Tari Saman Massal.
Dari tribun VIP, dia berujar, “para penari yang hadir ke sini tidak saling kenal, tapi lihatlah keindahan gerakan mereka dalam menari nantinya.”
Tim teknis MURI mencatat, penari berjumlah 12.262 orang. Di luar ekspektasi.
Selain dari wilayah Dataran Tinggi Gayo: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, penari juga datang dari masyarakat Gayo yang tinggal di Aceh Tenggara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Ikut juga dari unsur pemerintahan, PNS, dan TNI/Polri.
Mereka memang tak saling kenal. Tapi selama hampir satu jam, mereka serentak mengguncang dunia dengan saman, tarian yang tanpa diiringi alat musik apapun.
Penonton histeris saat penari menepuk dada dengan tempo cepat sembari menggoyangkan badan ke kiri dan kanan. Saya merinding.
“Saya langsung merinding pas mulai main tadi. Tidak tahu datangnya dari mana, tiba-tiba saja,” kata Ramli penari saman berusia 27 tahun dari Kecamatan Dabun Gelang, Gayo Lues, secepatnya dia melanjutkan, “apalagi ketika pukul-pukul dada.”
Dia juga ikut membuat rekor MURI penari saman terbanyak tahun 2014, dengan 5.057 penari. Pertunjukan kali ini dirasanya lebih menggetarkan jiwa.
Ia merasa bangga karena bisa membantu menggaungkan nama daerahnya yang memiliki sebagian wilayah Taman Nasional Gunung Leuser—paru-paru dunia, dengan pertunjukan saman.
Dengarlah kata bocah ini, “Saya senang aja bisa ikut tari saman massal,” ujar Sabaruddin, 13 tahun, dari Blang Pegayon.
Dia tak mau tahu apa tujuan dari pagelaran saman massal. Yang penting baginya, bisa ikut meramaikan bersama teman-teman sebayanya.
Saman seperti permainan sehari-hari bagi mereka; bagai permainan Ludo online yang digemari anak-anak jaman sekarang di luar Tanah Gayo.
Nurmansyah masih saya cari. Tapi dari Teungku Wahab penari saman asal Blang Pegayon, saya menemukan jawaban, yang mungkin tak bisa diungkapkan oleh Nurmansyah atau anak Gayo lainnya.
Malu orang tua kalau ada anak lelakinya tidak bisa menari saman,” ujar pria berusia 47 tahun itu.
Sudah tradisi setiap orang tua di Gayo—terutama Gayo Lues—mengajari saman kepada keturunannya sejak usia dini.
Paling telat semenjak berusia SD, anak-anak mereka diperkenalkan tari saman. Seiring bertambah usia, mereka dilibatkan dalam adu tari saman antardesa.
“Ini sudah adat kami,” ucap Teungku Wahab.
Siang nyaris berlalu. Stadion hampir kosong. Para penari saman sudah memenuhi mobil bak terbuka di luar arena pertunjukan.
Mereka akan kembali ke daerah asal dengan bangga, tanpa melepas kaos kerawang gayo dari badan.
Pada akhirnya, saya tak bersua Nurmansyah. Entah dia ikut atau tidak dalam pencatatan rekor MURI 10.001. Tapi spirit bocah itu begitu terasa di Tanah Gayo.
Saya bangga sekali bisa hadir menyaksikan langsung, meskipun di saat bersamaan, saya tidak bangga karena saya sendiri orang Aceh yang tidak bisa menari saman.
Syukurnya, kegagalan saya menjumpai Nurmansyah terbayar dengan kaos saman yang saya peroleh dari Teungku Wahab.
Dia adalah penari keenam yang saya bujuk untuk menghadiahkan saya kaos bersejarah itu.
Sudah tak dapat menari, bolehlah saya memakai kaos yang digunakan penari Saman 10.001 memecahkan rekor penari terbanyak di dunia.
Berijin boh Teungku Wahab.[]
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Tari saman menjadi perlambang budaya gotong royong yang luar biasa. Syair-syairnya penuh makna, dan seakan leluhur “berbicara” tentang kehidupan di masa lalu melalui syair-syair tersebut. Duh, mupeng hadir di sana jika suatu hari ada kesempatan diadakan lagi. (-:
Doain aja Bang semoga ada lagi 2 tahun mendatang…
Atau hayuk kita bikin di Banda Aceh, berani?? 😀
Ikut merinding membacanya, walaupun tidak berada di sana, namun kekuatan magis dari syair-syair Gayo seperti ikut mengalir dalam tulisan ini
Sayangnya saya tidak hafal syair2 itu dan kurang tau maknanya. Tapi kalo mendengar langsung, syairnya itu seakan2 memang memiliki kekuatan magis.. 😀
Gaya menulis Safariku selalu menarik 😀
Walau tak hadir, tapi serasa di sana. Mencari-cari Nurmansyah
Makasih Bang Ibnu, kita semua punya gaya masing2. Alhamdulillah jika bisa merasakan atmosfirnya, artinya, tugas saya mewakili kawan2 yg ga bisa hadir, tercapai. Insyaallah.
Eh, kalo ketemu Nurmansyah kapan2, titip salam dari saya ya. 😀
Sangat beruntung bg Makmur bisa safari ke sana, impian para blogger lo, bisa pergi ke sana, dan ternyata safari.com yang terpilih. Luar biasa (y)
Tapi memang pantas, karena tulisannya mampu menghipnotis pembaca seolah dia juga berada di tengah pergelaran saman tersebut. Begitulah yang aku rasakan saat membaca tulisan ini.
Waaah. Alhamdulillah ya.
Makasih Yell. Sedikit koreksi, safariku.com
Semoga tulisan ini bisa menggantikan keinginan kawan2 blogger lain ya. Moga aja ada event serupa di Aceh yg bisa ngundang blogger lbh banyak. 😀
Mantap ommm
Makasih Bang Hotli, senang bisa liputan bareng 😀
pesan persatuannya luar biasa ya Bro!
Iya Bro. Orang Gayo memang lebih kompak nampaknya. Ups!
udaah.. cari di sana aja satu :p
Haha, ente enak aja suruh2 kami… Tapi sepertinya aroma aribika gayo makin menguar. 😛