Ambon Manise itu Sangat Touristy, ini 6 Alasan Beta

Cover Ambon Manise Safariku

Saya terbang melintasi sebagian Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Jika ditarik sejajar dengan garis khatulistiwa, sejauh itulah perjalanan udara saya dari Banda Aceh ke Ambon.

Namun sebenarnya, saya ke Ambon harus memutar lebih dulu ke Jakarta, lalu ambil jalur tengah untuk transit di Makassar, sebelum lanjut ke Ambon.

Alunan musik khas Maluku sambut kedatangan saya di Bandara Internasional Pattimura pada jam 6 pagi waktu Indonesia timur. Di smartphone saya masih jam 4 pagi waktu Indonesia barat.

Selamat datang di Kota Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.

Di awal Februari 2017 itu, saya lantas baronda (jalan-jalan) di Negeri 1000 Pulau hingga seminggu, di sela-sela mengikuti satu agenda.

 

Ambon Manise 1

“becak adalah raja”

Becak Ambon Manise Safariku
Becak khas Ambon. Photo: Makmur Dimila

Angkot, damri, ojek, atau taksi? Di mana-mana ada. Saya malah tertarik menaiki becak. Memang, becak juga ada di mana-mana. Tapi becak Ambon sangat berbeda.

Becak kayuh itu berbentuk kecil. Hanya muat satu orang penumpang atau dua orang yang kurus seperti saya. Sempat saya dipaksa naik berdua dengan Bang Aswi blogger Bandung.

Badannya lebih lebih besar dan berisi dari saya. Oh, tolong, saya kejepit, dan dia mengalah dengan hanya duduk satu bokong saja.

Tapi yang bikin saya (nyaris) shock, becak ini boleh melawan arus lalu lintas. Suatu pagi dari Hotel Amans, saya naik becak berwarna kuning itu, menuju Lapangan Merdeka.

GA Ambon Manise
Saat bertolak dari Jakarta ke Ambon, saya beruntung, bisa merasakan duduk dalam Garuda Indonesia brand logo 1961-1969, yang sekilas mirip warna kemasan satu merek rokok di Indonesia. Tapi ini bukan armada lama, justru sangat nyaman on board. Photo: Makmur Dimila

Dari halaman hotel, becak dikayuh melawan arah, mengambil jalur kiri pengguna jalan yang dari arah berlawanan. Dan, abang becak cukup pandai menyelip kendaraan roda dua dan roda empat di jalan utama.

Body becak yang hanya selebar—sekitar—40 cm gesit menyelinap di celah-celah mobil yang merayap di jalan kota. Kendaraan berukuran besar harus mengalah. Hanya sopir berego yang mau bertekak di jalanan.

Saya pun tak menyesal naik becak. Dari salah satu drivernya, saya tahu, Manise yang diujuluki untuk Ambon, selain bermakna ‘manis’ dalam bahasa lokal, ia juga singkatan dari “manis, aman, nyaman, indah, dan sejuk”.

 

Ambon Manise 2

“bersih di siang hari, terang di malam hari”

Malam Terang Ambon Manise
Malam di Lapangan Merdeka. Photo: Makmur Dimila

Saya pacu motor matik (pinjaman) menuju utara Pulau Ambon. Ke Pantai Liang. Saya sejatinya ingin buktikan jargon Kota Ambon: “bersih di siang hari, terang di malam hari”.

Dan hebat, jargon itu benar-benar terlaksanakan. Jalanan beraspal mulus dan bersih. Mulai dari kota hingga ke luar kota. Sejak dari dataran rendah sampai ke dataran berbukit. Bahkan sampai kami tiba di Pantai Liang usai satu jam berkendara.

Di Pantai Liang, saya bercengkerama dengan bocah-bocah Ambon; pada sebuah dermaga. Mereka yang tengah mandi, akhirnya kami ajak berbicara. Sebagian hitam manis, sebagiannya putih.

“Kakak Makmur? Saya Sentosa!”

Seru seorang bocah lelaki, namanya Sentosa. Jadilah Makmur Sentosa. Akhirnya foto bareng saja sebagai kenang-kenangan.

Danke, Kakak…” seru mereka dengan kata gaul—diadopsi dari Bahasa Jerman.

Bocah Liang Ambon Manise
Yeee! Foto bareng remaja Ambon (Sentosa di kiri saya) di dermaga Pantai Liang. Photo: Bang Aswi

Dua hari sebelumnya, kami juga dapati jalanan beraspal mulus dan perkampungan yang bersih, selama menjelajahi Pintu Kota di selatan Pulau Ambon.

Pintu Kota merupakan situs tanjung yang berlobang di tengah-tengahnya, yang mengapit sebuah teluk kecil bernama sama.

Bagi nelayan maupun kapal asing yang hendak masuk ke perairan Maluku, patokannya pada Pintu Kota. Mungkin lewat jalur ini pula penjelajah Alfred Russel Wallace memasuki Teluk Ambon pada abad 19.

Jika saja sudah ada teropong berteknologi canggih, saya berdiri di puncak tanjung Pintu Kota, lalu dengan teropong itu melihat Timor Leste dan Darwin Australia di sebelahnya.

Tapi saya hanya punya teman baru sebaik Olnes Matulessy. Dari Pintu Kota, ia membawa kami ke Pantai Amahusu.

Ini pantai spesial. Sebab setiap tahunnya, digelar Festival Darwin – Ambon antara bulan Juli atau Agustus.

Kapal-kapal pesiar dari Darwin, Australia, nyandar di teluk ini, mereka bisa berada di sini sampai satu bulan,” jelas Olnes.

Pantai Amahusu juga salah satu spot melihat sunset. Sayangnya, langit sore itu agak berawan. Tapi lembayung senja masih tampak menawan.

Dan saya menemukan suatu hal lain yang lebih indah: kerlap-kerlip cahaya pada lereng bukit di seberang teluk.

Ya, itu cahaya dari lampu bangunan atau perumahan warga yang berjejeran di lereng bukit.

Itulah karakter Kota Ambon. Tata ruang wilayahnya mengelilingi dua sisi teluk yang seperti mulut buaya itu.

Dari Dermaga Pantai Amahusu, saya menikmati pendar cahaya lampu yang perlahan menyala di sekujur lereng perbukitan. Semakin malam semakin mempesona. Bagai kamu kunang-kunang.

Malam hari di Ambon benar-benar terang kala saya baronda ke pusat kota. Mulai dari Lapangan Merdeka dengan atraksi lighting, hingga ke jantung kota semisal di Jalan Said Perintah.

 

Ambon Manise 3

“di mana-mana ada Glenn Fredly dan Melly Goeslaw”

Pintu Kota Ambon Manise
Day trip ke Pintu Kota, selfie jangan lupa. Yang manakah Glenn Fredly? 😀 Photo: Bang Aswi

Ini mungkin sekuel paling syahdu saat kamu berkesempatan baronda di Ambon. Di mana-maan terdengar suara Glenn Fredly, Melly Goeslaw, Ruth Sahanaya, atau Daniel Sahuleka.

Kamu tak butuh menyetel musik di smartphone atau menonton channel musik di TV.

Cukup keluar penginapan, jalan-jalanlah ke pusat kota, misal ke Jalan Said Perintah. Dan saya memilih datangi Cafe Sibu-sibu.

Dari luar, suara merdu Ambon sudah menarik perhatian pengunjung. Cafe itu di tepi jalan dan remang-remang. Nuansa klasik dan country langsung terlihat saat saya masuk.

Saya duduk di teras, memesan Kopi Rarobang khas cafe itu. Sembari dengarkan pelayan atau pengunjung cafe bernyanyi di panggung mini.

Aroma kopi robusta dan jahe tericum dari secangkir Kopi Rarobang. Di muka kopi hitam itu mengapung potongan kacang kenari. Saya menyesapnya, dan, ada rasa cengkeh yang cukup menghangatkan tubuh.

Gila! Kamu harus coba. Saya suka kopi ini, meski sudah jarang konsumsi kopi robusta.

Dan saya suka lama-lama di Cafe Sibu-sibu. Karena musik selalu enak didengar meski lagu dan penyanyi bergonta-ganti.

Pengunjung pun dibolehkan bernyanyi. Atau sekadar berjoged bersama. Soal joged, bule backpacker paling tergoda.

Saya juga dengan mudah menemukan suara merdu di luar Cafe Sibu-sibu.

Pada hari terakhir di Ambon misalnya, Olnes boyong saya ke rumahnya.

Dari ruang tamu rumahnya, saya menikmati suara Ruth Sahanaya di dalam rumah Olnes. Sepotong nyanyian mengikuti siaran radio. Dan itu suara adik perempuannya.

Suaranya bikin saya betah menunggu Olnes berkemas hendak keluar lagi. Saya yakin akan masuk finalis jika adiknya ikut audisi vokal di Jakarta.

Ambon memang pantas menobatkan diri sebagai Kota Musik. Ini pula yang disarankan oleh banyak pihak untuk menjadikan musik sebagai brand industri pariwisata Maluku; dipadu dengan indahnya kepulauan. Semoga.

 

Ambon Manise 4

“makan lem dengan rempah-rempah”

Papeda Ambon Manise
Papeda khas Ambon. Photo: Makmur Dimila

Pelayan menghidangkan periuk tanah berisi sesuatu terlihat seperti lem. Putih dan kenyal. Berasap-asap. Ada sepasang sumpit.

Seporsi papeda. Makanan khas Maluku yang terbuat dari sagu. Tepung sagu dididihkan hingga masak.

Teksturnya lengket, berwarna bening, dan kenyal. Persis seperti lem. Rasanya hambar.

“Cara makannya begini,” tutur Enda, travelmate lain dari Ambon.

Dia dekatkan mulut ke piring yang sudah diisi papeda. Dia kemudian menyendok lem itu tapi tak diangkat, melainkan segera lidahnya sereput lem dalam sendok itu. Sruuup!

Itu triknya.

Jangan menggunakan tips makan mie, jika kamu tak mau gagal menikmati papeda.

Namun saya baru bisa mengantar papeda dalam lambung jika saat bersamaan langsung diasupi kuah ikan kuning.

Papeda memang unik, tapi saya kurang menyukai. Justru saya lebih doyan menyeruput kuah ikan kuningnya; kaya rempah-rempah.

Selain papeda, saya juga sempat menyantap ikan asar khas Ambon. Ikan asar (asap) ialah ikan yang dimasak dengan pengasapan, tanpa api.

Ikannya bisa bertahan sampai setahun. Macam fungsi ikan keumamah (kayu) di Aceh. Tapi bentuknya berbeda. Ikan asar tampak seperti ikan bakar pada umumnya, begitu pula cara makannya.

 

Ambon Manise 5

“negeri seribu pulau cantik”

Teluk Ambon Manise
Teluk Kota Ambon. Photo: Makmur Dimila

Maluku khas dengan daerah kepulauan. Bahkan dikenal sebagai Negeri Seribu Pulau. Saya berekspektasi bisa ke Pulau Kei dan Pulau Seram tapi akhirnya cuma bisa mengkesplor Pulau Ambon.

Namun saya tak menyesal. Justru itu akan menjadi pemicu bagi saya untuk kembali ke Maluku, kapan-kapan.

Di Pulau Ambon, saya cukup puas menikmati keindahan alam di Negeri Morella. Ia nama sebuah desa di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Di kecamatan itu, uniknya, desa disebut negeri. “Kepala desa di sini juga disebut dengan Raja,” ujar Roesda, blogger asal Morella.

Morella juga kampung adat. Tapi selama satu hari di sana, saya hanya sempat mengagumi Pesona Indonesia di laut saja.

Saya dibawa ke pinggiran Negeri Morella melintasi perbukitan dengan panorama laut Banda. Di satu belokan, terlihat Lubang Buaya dengan permukaan air toska.

Itu bukan Lubang Buaya ‘makamnya’ beberapa Jenderal. Tapi tempat anak-anak meloncat indah dari pepohonan ke kolam tenang berair bening.

Boat Lubang Buaya Ambon Manise
Perahu wisata di Lubang Buaya. Photo: Makmur Dimila

Kedai-kedai dan perahu kayu sudah sedia memanjakan para pengunjung di sekeliling Lubang Buaya.

Lubang Buaya tak seangker namanya. Tapi sebaliknya, ia bak permaisuri yang mendiami satu teluk di Negeri Morella.

Dari situ pula, saya, Bang Aswi, dan Roesda sewa perahu kayu untuk island hopping. Rp 15 ribu untuk satu trip.

Setelah menikmati boat trip melihat beberapa pantai lainnya di sekitar Lubang Buaya—dan sempat khawatir dengan boat mesin mati di laut lepas—kami lantas mendarat di Pantai Samamuai.

Di pantai itu kami menikmati romansa senja Pulau Ambon. Saya awalnya menyeduh kopi arabika gayo di tepi pantai, sementara teman-teman dari Ambon, asik snorkeling dan diving di halaman Samamuai.

Kaki saya gatal juga. Setelah menikmati sunset nan indah dari permukaan air, saya sempatkan diri menyelami keindahan taman laut Morella.

Saya bahkan belum puas menghibur diri dengan ragam ikan dan terumbu karang di Samamuai, saat tur diakhiri.

Artinya, saya memang harus kembali.

 

Ambon Manise 6

“aman, no doubt”

Pattimura dan Maku-maku Ambon Manise
Pattimura aman-aman saja di Cafe Sibu-Sibu, dengan ‘perlindungan’ simbol Maku-maku di pojok dinding. 😀 Photo: Makmur Dimila

Nyaris setiap orang yang mengetahui saya akan ke Ambon, bertanya, “amankah Ambon?”

Saya merasakan, pertanyaan itu mungkin akibat dampak pemberitaan konflik antar umat beragama pada 1999 di Kota Ambon.

Tentu, Ambon aman-aman saja. Toleransi umat beragama cukup tinggi. Muslim dan non-muslim yang fifty-fifty, hidup akur meski ada beberapa wilayah yang tak lagi tinggal satu kompleks karena perbedaan agama.

Saya dapati gereja dan masjid bertebaran di kota, maupun saat eksplor ke desa-desa. Warga berbaur dan bekerjasama tanpa memandang unsur itu. Mereka saling menghargai.

Satu hal unik yang membuat saya terkagum adalah penggunaan simbol Maku-maku di seluruh sendi kehidupan masyarakat Ambon.

Di pagar masjid, perkantoran, perumahan, pertokoan, dan kompleks apapun, dihiasi simbol maku-maku.

Maku-maku ialah simbol adat berbentuk pedang dan perisai. Saya perhatikan ia terlihat seperti tanaman.

“Maku-maku mengandung filosofi protection,” jelas Abraham Sayem, seorang tour guide profesional Ambon.

Maku-maku bermakna perlindungan terhadap hal-hal buruk, yang diwarisi oleh leluhur mereka, dan dipercaya sebagai kekuatan magis.

Simbol maku-maku lantas diaplikasikan di semua arsitektur di Ambon. Dan saya melihat simbol itu ada di mana saja, bahkan di pagar masjid.

Selain itu, maku-maku juga nama tarian khas Maluku yang sudah menjadi warisan kebudayaan nasional Indonesia.

Ambon memang sangat touristy—lengkap dalam hal atraksi, akses, dan amenitas.

Beta sudah baronda di Ambon, ale kapan?[]

Writer: Makmur Dimila

Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu

20 thoughts on “Ambon Manise itu Sangat Touristy, ini 6 Alasan Beta

  1. Saya membayangkan naik becak yang mungil itu sambil melawan arus kendaraan. Di Ambon pasti kendaraannya kurang rapat dibanding di Jakarta ya Mas? Artinya kendaraan mereka melaju dengan kencang sementara becak datang dari arus berlawanan. Hahaha bisa mati duduk saya…

    Danamon tidak salah mendapat julukan manise. Cantik bener alamnya

    1. Yoi, lalu-lintas di Kota Ambon tak begitu padat, so that, becaknya bisa mengular aja seenaknya. Eh, kendaraannya juga ga melaju kencang2 kok kalo di pusat kota. Pokoknya asik deh kalo naik becak di sana.

      Dan ya, alamnya benar2 manise. 😀

    1. Iya ya kalo ke Ambon harus libur panjang dulu. Tapi coba pelajari tanggal merah tahun ini di bulan Maret, April, Mei, banyak yg ada hari kejepitnya. 😀

    1. Ale su ke Ambon? Mantap jiwa… Beta pun su main2 ke Pantai Liang, seru sekaleee. Pengen kesana lagi Bro, bareng kita 😀

    1. Ahai, kita bisa menyapa di blog. Yoi, semoga kopinya bisa menemanimu hari2mu di Rumah Singgah ya. Sampai ketemu lain x. 😀

  2. woww… penggambaran tentang Ambon yang sangat indah. Keren yaa.. saya juga pengen banget keliling Indonesia, Ambon salah satunya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *