Konnichiha?
Hari ini saya diundang Washida untuk mencoba salah satu halal Japanese food, kari Jepang. Jangan mengira saya sedang di Tokyo, Kyoto, Yokohama, dan Osaka; atau di Hiroshima dan Nagasaki yang terkenal karena peristiwa bom atom.
Saya masih di Banda Aceh, kok. Belum ada kesempatan bagi saya ke Negeri Sakura. Syukurnya, di ibu kota provinsi ini, Washida—perempuan asal Kanagawa, Jepang—buka satu restoran khas negara asalnya, Daisuki Resto.
Dari jalan Prada Utama tembus Lamnyong, restoran berkonstruksi kayu itu menyambut pengunjung dengan kentalnya aroma kari Jepang, selain bakso ala Indonesia.
Bakso sudah biasa, ya, kan. Saya tertarik dengan kari Jepang yang tak mungkin bisa dicicipi tanpa terbang ke kampung halaman Doraemon lebih dulu.
Kita tahu, kari makanan khas India. Kuah yang lezat disantap dengan nasi ini juga berkembang di Indonesia, tentu Aceh. Entah saudara Amitabh Bachchan bagian mana yang membawanya ke sini.
Di Nanggroe Aceh, kari biasanya menggunakan daging kambing dan sapi. Bagaimana dengan kari Jepang?
“Di Jepang, restoran menjual daging babi,” kata dia.
Hah? Saya akan disajikan kari babi?
“Tidak. Tentu saya akan membuat kamu kari Jepang menggunakan daging ayam,” sebut Azizah, nama baru Washida setelah ia menjadi muallaf.
Hai.
Saya sungguh bersemangat menanti dia memasak kari.
Suasana petang Kota Banda Aceh sehabis diguyur hujan awal September menjadi waktu yang tepat mengganjal perut dengan makanan hangat.
Sementara, saya menanti dengan mengamati Daisuki Resto. Kedai ini didominasi kayu-kayu dan bilah bambu di dindingnya. Lampion menggayut di langit-langit. Minimalis.
Sesaat. Washida dibantu pelayannya menghidangkan saya sepiring kari Jepang, salah satu halal Japanese food yang akan menggoyang lidah masyarakat Aceh di Banda Aceh. (Amin… :D)
Di dalamnya, setumpuk kecil nasi memantik selera makan. Asap mengepul di permukaan, menghantarkan aroma rempah-rempah. Warnanya kuning kunyit.
Saya menyendok kari itu sedikit saja, sebagai permulaan. Menempatkannya di ujung lidah. Hm… Dan, kutemukan rasa kunyit, jahe, dan kaldu daging ayam. Dicampur dengan potongan tomat dan wortel.
“Saya pakai jahe dan kunyit,” ucap Washida.
Sebaiknya dibaca: Saatnya Mie Daus
Barangkali dia tahu maksud saya dengan hanya melihat mimik saya yang layaknya seorang kritikus dan tester makanan—tapi saya bukan Bondan Winarno.
“Enak!”
Saya sendok lagi kari ditambah dengan nasi. Saya menyimpulkan rasanya setelah mengunyah kali ketiga. Apakah halal Japanese food ini layak diberikan dua jempol?
“Manisnya harus dikurangi lagi biar sesuai dengan lidah Sumatera yang suka pedas,” saran saya.
Washida mengangguk dengan senyum.
Dia perlu memberikan saya satu jempol lagi. Karena ini hidangan pertama, dia sudah menyajikan yang terbaik. Saya yakin, dia mampu.
Taburan bawang goreng, potongan daun seledri, dan potongan daging ayam, membantu saya berhasil ‘membersihkan’ isi piring. Saya kenyang! Tak perlu lagi makan malam. Arigatou gozaimasu. 😀
Daisuki Resto pasang harga untuk kari Jepang Rp20 ribu/porsi.
Murah, kan? Kalau ke Jepang, kamu harus beli tiket PP dulu, ditambah akomodasi, dan urus visa. Lama dan mahal. Mending ke sini aja, cepat dan dekat! 😛
Selain itu, di Daisuki Resto kamu bisa menikmati halal Japanese food lainnya, seperti mi ramen dan nasi goreng suki. Ada juga minuman es suka-suki. #HarganyaTidakSuka-Suka
Satu hal yang paling saya suka dari resto ini. “Kebersihan dan Kenyamanan.” Ya, Washida menstranfer model pelayanan restoran ala Jepang ke pelayannya di Daisuki, Banda Aceh.
Sebaiknya dibaca: Ngopi Gayo Sepuas Hati
Dia mengaku awalnya sulit menerapkan itu. Tapi perlahan, setelah diajari, pelayannya mulai terbiasa. Sehigga, sesuai dengan nama restonya, ‘daisuki’ yang berarti ‘suka sekali’, pelanggan akan doyan datang ke restoran itu.
Saya suka banget! Kamu suka saya?
.: INSIGHT :.
Saat ini di Aceh masih bisa dihitung jari jumlah resto yang menyediakan makanan Jepang halal . Daisuki Resto saya pikir telah memilih domain yang tepat.
Apalagi Indonesia sedang gencar-gencarnya memasarkan wisata halal. Menargetkan moslem traveller dari Timur Tengah dan Asia—terutama Asia Tenggara.
Aceh pun ikut menempatkan diri sebagai destinasi ramah budaya wisatawan muslim, baik domestik maupun mancanegera. Bagaimana caranya agar turis muslim dari kawasan itu merasa nyaman saat berada di suatu destinasi.
Tiga hal utama yang diincar moslem traveller itu dari sebuah restoran (misalnya): kebersihan baik dari segi pelayan maupun tempat, tempat beribadah yang memadai, dan makanan berstandar halal.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
kalau kita ke TKP Kak Azizahnya ada di sna Makmur?
Ayo Kak, datang aja pada jam makan. Insyaallah dia selalu menunggu pelanggan di waktu yang tepat. Hehe.
kayaknya kita harus ke sana nih..
tentunya saya akan mengajak istri saya yang begitu menyukai masakan jepang 😀
Harus Bang, ga pake ‘kayaknya’.
Bawa anak-anak juga biar rame. 😀
tepatnya di mana ya posisi resto ini mur?
Di Jl. Prada Utama, Gp. Prada. Coba klik di peta yang disematkan di atas, nanti akan muncul ke halaman aps HERE WeGo yang mengarahkan langsung ke TKP. 😀
waah, nanti kalo ke Banda kakak mau coba jugaa. mau makan mie bakso
Harus dicoba Kak. Resto Daisuki juga family friendly. 😀
saya lebih ngiler liat bakso nya 😀 enak kaya nya mendung2 gini makan bakso hehhe..btw salam kenal ya 🙂
Haha, tampilan bakso memang menggoda ya. Silakan Mbak Dini dicoba kalau nanti ke Aceh. 😀
Salam kenal. 😀
Gimana kalau Saweu gampong GIB, bulan ini kesitu aja.., kayaknya seru tu..,!
Boleh sih, tapi kayaknya kapasitasnya ga cukup untuk gathering. 😀