Melbourne ibarat miniatur dunia. Saya menemukan ragam budaya di kota kedua terbesar di Australia itu, yang diwakilkan orang-orang dari berbagai negara.
—
Malam ini dimulai pertunjukan Molecule of Light di Federation Square menyambut musim dingin. Saya harus menyaksikannya selagi masih di Melbourne.
Dari Lygon Street, Carlton, aroma shiha cukup menusuk hidung saya ketika melewati pedestrian di Little Italy. Rokok Arab itu mengepulkan asap tebal selain menguarkan rasa buah dari tabung sisha. Hampir dinikmati oleh semua pengunjung cafe di sepanjang kawasan Itali Mini.
Di Agryle Park, pohon-pohon London Plane, yang sebulan lalu merekah merah dan kuning, kini sudah meranggas. Taman sudah berlantai daun kering kecokelatan. Suhu pun kian dingin menghembus, membuat saya harus melilit syal di leher lebih keras.
Segera saya mencapai shelter trem. Saya naiki trem tujuan Flinders Street Station untuk sampai di Central Business District (CBD), jantungnya Kota Melbourne. Gesekan kereta listrik ini cukup menghibur seraya menatap wajah-wajah penumpang trem.
Kau akan merasa malu jika berbicara lantang di dalam trem, kecuali kau pergi satu rombongan. Tapi masyarakat Melbourne cukup memiliki rasa manusiawi yang tinggi. Kau boleh berbuat apa saja di fasilitas publik, tapi jangan pernah menciptakan keributan.
Saya melihat sepasang muda berciuman selagi berdiri dalam trem. Lekas saya alihkan pandang ke luar jendela.
Gedung-gedung pencakar langit dominan menghiasi kota yang ditemukan tahun 1836 ini. Lorong-lorong memisah blok demi blok. Seniman jalanan menggelar lapak di sepanjang jalur pedestrian CBD.
Kawan saya suatu hari lalu, saat jalan-jalan di Jembatan Prince di atas Sungai Yarra, menjumpai seorang mahasiswa asal Indonesia yang bermusik di jalanan untuk mendapatkan uang saku lebih.
Saya turun di kawasan Freem Tram Zone di muka State Library of Victoria. Halaman pustaka nasional Victoria ini sudah membawa saya berada di Melbourne CBD.
Keindahan metropolitan mendorong saya susuri pedestrian (lineway) sepanjang Swanston Street, dengan berjalan kaki, untuk mencapai Federation Square.
Sengaja saya tak naiki trem, tetapi lebih memilih menikmati city walk di atas jalan tanpa debu dan becek (yang akan melumat sepatu dan celana).
Berjalan kaki sendiri di tengah hiruk-pikuk kota memudahkan saya melihat detail suatu objek.
Dua blok saya lalui pelan-pelan hingga mata saya terpaku pada aksi sepasang robot Transformer tak jauh dari Gerbang Chinatown.
Di halaman gedung parkir, di tepi jalan lorong yang dinaungi cahaya lampion, robot kuning dan biru itu menyapa pejalan dengan gerakan, bukan suara. Pengunjung memasukkan koin ke kotak yang dipegang salah satu robot itu, syarat bisa berpose bareng mereka.
Saya pun merangsek ke Little Bourke Street. Usai memasukkan koin Australia Dollar, robot buatan Jepang itu langsung mengapit saya. Seorang pejalan saya minta bantu memotret kami.
Kreativitas apa saja bisa kau lakukan di Melbourne, dan itu menghasilkan uang.
Keluar dari Chinatown, saya kembali ke jalan utama, menyusuri jalur pedestrian. Toko berganti toko saya lewati, mulai dari outlet suvenir, money changer, ATM, rumah makan dari berbagai negara bahkan Indonesia, termasuk coffeeshop.
Saya terus berjalan hingga mencapai Flinders Street Station setelah melalui lima blok yang penuh hiruk-pikuk, terutama oleh lau-lintas kereta trem yang bergerak mirip ulat itu. (Lihat soal Chinatown di sini)
Warna-warni cahaya memenuhi langit The City, sebutan orang Australia untuk CBD Melbourne. Kuning tua tubuh Flinders Street Station cukup memberinya kesan ghotic.
Di seberang Jembatan Prince sana, biru cerah memancar dari tiang Arts Centre Melbourne. Namun, mainan sorot lampu dari Federation Square-lah paling membuat saya penasaran.
Sebuah bola raksasa dengan tiga penyangga, berputar-putar mengeluarkan suara menggema. Menghasilkan sejumlah titik cahaya ragam warna, soroti ke berbagai penjuru. Molecule of Light namanya.
Seni cahaya karya Chris Levine, seniman Inggris, itu menandai musim dingin telah tiba. Ia dipamerkan mulai 1 – 21 Juni. Dimulai setiap jam 5.30 sore waktu setempat.
Ini sudah malam kelima pameran Molecule of Light, dengan suhu 7 derajat celcius. Menyaksikan kumpulan spektrum cahaya itu, membuat saya teringat piring terbang UFO dan karakter “Jadoo” dalam film Bollywood, Koi Mil Gaya.
Melbourne selalu menyambut musim dingin dengan pameran karya seni cahaya, dengan karya yang berbeda-beda tiap tahunnya.”
Begitu kata Sri Dean, seorang Indonesia yang sudah 20-an tahun bekerja di Melbourne, kepada saya beberapa malam lalu saat mengunjungi kantornya, SBS Radio, yang terletak hanya sepuluhan meter dari dipajangnya Molecule of Light.
Federation Square tempat berkumpulnya wisatawan, di samping warga Melbourne yang menggunakan fasilitas trem. Titik ini menjadi patokan awal turis yang ingin mengeksplor seluruh Kota Melbourne.
Segala informasi mudah ditemui di sini. Cukup melihatnya di Melbourne Visitor Centre (MVC). Dari sini pula, saya telusuri keindahan kota dari tepi Sugai Yarra di bawah Jembatan Prince.
Ada banyak atraksi yang ingin saya nikmati, tapi saya hanya sempat susuri Flinders Walk bermain dengan angsa dan camar laut di sepanjang tepi Sungai Yarra, menaiki Evan Walker Bridge yang dikenal Jembatan Cinta-nya Melbourne, dan Skydeck Tower.
Selebihnya cuma lalu-lalang di pusat kereta api tertua di Melbourne itu. Padahal saya kepingin juga menaiki Melbourne River Cruise, kendaraan air menyusuri Sungai Yarra.
Sebagai pendatang baru, saya juga merasa sangat nyaman selama di Melbourne. Tak ada xenophobia (ketakutan pada orang asing) atau islamphobia. Apalagi Australia tergolong negara paling terbuka kepada warga asing untuk bekerja maupun mencari suaka.
Kenyamanan dan keamanan membuat Melbourne dinobatkan sebagai the world’s most liveable city selama lima tahun berturut-turut (2011-2015) versi Majalah The Economist.
Kota paling nyaman (layak huni) di dunia. Saya tak meragukannya. Fakta ini juga mendongkrak jumlah kunjungan turis asing ke Australia setiap tahunnya. Misal saya, salah satu dari 6,9 juta turis asing mengunjungi Negeri Kangguru pada 2015.
Berdasarkan survey Tourism Research Australia, angka kunjungan itu naik sekitar 8 % dari tahun sebelumnya. Khusus Victoria, saya salah satu dari 2 juta lebih turis mancanegara yang mengunjungi negara bagian itu tahun lalu.
Kecuali itu, Melbourne juga dikenal kota yang ekspresif. Mulai dari gowes bugil, kegiatan keagamaan, hingga gerakan memperjuangkan kemerdekaan sebuah provinsi di negara tetangga Australia.
Biar lebih puas melihat ‘surga dunia’ di kota ini, sebelum kembali ke flat, saya menyempatkan diri naik ke menara tertinggi di Melbourne, Eureka Skydeck 88 Tower. Segalanya terlihat hening amazing dari puncak ini.
Jika ingin mempelajari konsep pengelolawan wisata yang baik, sering-seringlah ke Aussie. Completely, there’s nothing like Australia.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Aduh…. melihat sepasang sejoli di bangku taman seperti itu rasanya jadi pengen berduaan dengan Makmur hahahahahha….. nice post…. suka bacanya….meski banyak data tapi tetap enjoy aja…
Aduuuh Kak Ihan, ayolah kita duduk disitu berdua, tabung terus banyak2 biar bisa terbang ke sana. Haha.
Makasih sudah berkunjung. Yap, saya suka mendeskripsikan namun juga harus informatif. 😀
nyaaan ini baru keren.. menceritakan tentang kota besar yang sibuk dengan sisi travelling dan kesan yang luar biasa 🙂
Yes… Itu sudah menjadi pekerjaan kita Bang Yud, untuk menyampaikan pesan sesuai niche blog. Uhuhu.
Pengen banget jalan2 ke Melbourne…huaaa
mesra banget ya itu yang duduk berdua, melihat indahnya bintang2 dan lampu kota, so sweet >.<
Semoga bisa kesampaian ya Alwib. Mesra2an pun bisa bebas di sana, hehe. Raih mimpimu! 😀
Keren that tempat nyan, tapi lon yakin disinan han akan kejadian lagee di sabang *sensor..
pajan teuma neu pakat lon sigoe2, pu lom awak garut ramee di woe nyoe uroe raya, pu jeut cara nebeng ? wakakak
menyoe hana salah lon na istilah visa untuk kerja dan belajar kebudayaan setahun ya ? #ka lupa lon istilah nyan
Jelas Bang Rizal, hana lagee tatron u Guha Sarang. Haha.
Jak tajak, tapi payah peutoe ureueng Gampong Aree nyan dilee uroe raya nyoe. Hehe.
Ya, Indoensia dan Australia punya hubungan bilateral, salah satunya pemberian Work and Holiday Visa (WHV). Visa ini diberikan kepada warga Indonesia setiap tahunnya dan hanya akan diberikan kepada yang lulus tes. Dengan kantongi WHV, orang Indonesia dapat bekerja setahun di sana, sambil jalan2. Nyan ban, selengkapnya bisa cek di sini 😀
asik nih, traveling ke melnourne, apa lagi kalo di temenin isteri.. sayang belum punya hik hiks..
Kalau gitu dapetin istrinya dulu Mas, hehe, baru ke Aussie 😀
wah, artikelnya bikin saya terhanyut dalam cerita
artikelnya sangat bagus dan mengalir
Terima kasih kakak sudah berkunjung.. 😀
Makasih Kakak. 😀