Klakson semboyan kembali berbunyi setiap akan berhenti atau meninggalkan stasiun yang dijumpai. Dari Sigli, geuritan berhenti di Stasiun Grong-grong, lalu Stasiun Kareueng, Stasiun Gogo, dan Stasiun Padang Tiji. Jalur dua kereta api Aceh ini pun berakhir di Stasiun Padang Tiji.
Kereta rute Sigli-Padang Tiji akan kembali memutar ke arah Sigli. Sementara kereta rute Sigli-Banda Aceh berhenti sejenak untuk ganti lokomotif yang lebih kuat, karena akan melintasi medan berat.
Sebaiknya dibaca: Nostalgia Kereta Api Aceh di Pidie (1)
Jasmani dalam dua kali pengalamannya itu, cukup menikmati perjalanan kereta api Aceh selepas meninggalkan Stasiun Padang Tiji.
Matanya dimanjakan oleh keindahan panorama alam dari lembah-lembah dan Krueng Peuet Ploh Peuet yang memutar bagai jalannya ular; telah dibangun jembatan baja untuk dilintasi kereta api.
Para penumpang selain makan juga menunaikan salat Zuhur saat pemberhentian di Stasiun Seulimum. Tepat jam 3 sore, kereta jalan lagi melalui Stasiun Indrapuri terus ke Lambaro; setelah tiga jam kemudian, kereta tiba di Stasiun Koetaradja dengan pemeriksaan karcis terakhir oleh kondektur di Lambaro.
Saat kembali dari Banda Aceh, Jasmani tertarik dengan oleh-oleh yang dijajakan di Stasiun Koetaradja: jambu biji dengan daging merah jambu.
Dulu katanya tak seperti sekarang di Kawasan Saree yang menjual keripik ketela, jagung, kacang, dan sebagainya.
“Böh geulima ubit asöe merah nyan keuh oleh-oleh kamöe jameun dari Banda Aceh. Ingat that lôn nyan,” kenang Jasmani.
***
Kami meninggalkan Warung Dek Gam untuk melihat Menara Air tak jauh ke selatan Desa Pasar Paloh. Hanya dua ratusan meter. Memasuki jalan bebatuan yang tampaknya akan tembus ke perkebunan.
Rupanya, tanah yang sedang kami tapaki ini milik PT. Kereta Api (Persero), seperti tertera di plang informasi yang dipasang di bibir jalan.
Menara air kereta api Aceh ada di dalam lahan dipenuhi semak belukar, di balik plang nama itu. Berbentuk persegi panjang terbuat dari pelat besi. Ditopang balok-balok kayu. Sudah berkarat.
Kami coba merangsek di kolong langit-langit lantai menara. Menurut Maulana yang asal Padang Tiji, dulunya ada tangga yang menghubungkan bagian atas menara air.
Kini harus panjat pohon atau paha-paha besi jika ingin ke atasnya. Tapi keberadaan sarang rabe di salah satu sisi langit-langit, membuat kami lekas keluar dari semak-semak.
Dari situ, kami kembali ke Jalan Rel Kereta Api di perbatasan Desa Pasar dan Desa Trieng. Di kanan jalan, di antara pokok-pokok asam jawa, berdiri kokoh bangunan berkonstruksi kayu dilapisi cat hijau.
Itulah bekas Stasiun Padang Tiji. Bukti fisik sejarah kereta api Aceh yang masih tersisa.
Ada nuansa klasik, terlihat dari kondisi cat dan papan yang menjadi casing stasiun. Kebanyakan sudah tertutupi lumut yang menghitam. Kelihatan arsitektur bangunan Belanda yang kental. Di dekat satu ujungnya terpacak plang “PT Kereta Api Persero”.
Dari satu ujung lagi, ada lorong yang membawa kami ke area bekas stasiun dan bekas kantor dinas petugasn kereta api Aceh untuk Stasiun Padang Tiji.
Dari depannya, jelas terbaca, stasiun yang masih menjadi aset PT Kereta Api Indonesia Persero itu sudah ditempati warga. Di satu ruang malah dijadikan lapak perbengkelan.
Kami rangsek ke sisi barat. Masih berjalan di atas kepingan sejarah kereta api Aceh di Padang Tiji. Ada satu bekas gudang yang sudah dibongkar konstruksi bangunannya.
Setelah bekas bangunan itu, saya melihat gubuk gaya Belanda masih tegak namun kotor. Susunan reliefnya dengan motif seperti menara masjid terbalik tampak indah.
Berjalan agak ke barat, ada satu bekas gudang perawatan sarana kereta api yang masih utuh fasadnya. Tiga perempuan—kemudian saya tahu mereka adalah pendatang—duduk bercengkerama di bangku depan kios, di halaman eks gudang kereta api.
Hendak mengenal barang-barang tempo dulu, pupus. Isinya sudah tergantikan dengan perabotan rumah tangga. Gudang itu pun sudah dihuni warga.
Segala aset PT KAI di Stasiun Padang Tiji telah diangkut oleh pihak perusahaan itu sendiri, tak berapa lama setelah jalur kereta api Aceh-Sumatera resmi ditutup sejak tahun 1982.
Saya dekati Rusnazar, 48 tahun, yang tiba-tiba keluar dari deretan rumah di sebelah gudang. Dia juga bernostalgia kemudian. Di bawah langit Padang Tiji yang cerah.
Rusna naik kereta api Aceh hanya sekali seumur hidup. Saat ia masih baru duduk di bangku Sekolah Dasar, menumpangi kereta rute Padang Tiji-Sigli. Ia bertandang ke rumah neneknya di Gampong Cina, Sigli.
“Cuma sekali saja. Setelah itu, ada insiden jatuhnya gerbong di Kali Sa,” Rusna menunjuk ke arah Seulawah. “Itulah terakhir kali kereta api melintasi Padang Tiji,” sambungnya.
Kali Sa nama untuk alur sungai pertama dari jalur Krueng Peuet Ploh Peuet dalam rute Sigli-Banda Aceh. Setiap lintasan sungai ada jembatan yang menghubungkan rel kereta api.
Kemarin. Kami susuri bekas rute kereta api Aceh tujuan Padang Tiji-Banda Aceh. Mulai dari Desa Trieng. Terus memasuki jalan perkebunan meninggalkan pedesaan. Melibas jalan yang dipenuhi genangan air hujan dan lumpur. Di antara kebun-kebun warga.
Pilar-pilar kuning menopang jembatan kayu, kelihatan di kejauhan. Setelah 15 menit berkendara. Kami berhenti. Menapaki jembatan sekitar 2 x 20 meter itu. Besi pipih lebar di kedua sisi mengokohkan penghubung antar kali ini.
Lantainya sudah dilapisi papan menutupi rangka baja di lapisan terbawah. Bekas rel kereta pun tak terlihat lagi. Di bawah, aliran sungai berwarna kuning tanah, tenang. Mungkin dalam. Inilah Kali Sa.
Bayangkan, bagaimana saat gerbong itu jatuh di jembatan ini?
Saya penasaran seberapa jauhkah jembatan demi jembatan selanjutnya. Mampukah kami jejaki hingga 44 jembatan? [Bersambung]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
NOTE: Jika ada data sejarah kereta api Aceh versi Safariku ini yang keliru, mohon disampaikan di komentar atau email ke [email protected]
2 thoughts on “Nostalgia Kereta Api Aceh di Pidie (2)”