https://instagram.com/p/6w5znnjKgg/?taken-by=makmurdimila
Sebagai orang Aceh, di mana pun berada, kalau belum kunyah nasi belumlah makan namanya. Apakah saya akan seperti itu juga ketika menjejakkan kaki pertama kalinya di Melbourne, Australia, pada Mei 2015?
Saya menetap di rumah flat di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Kawasan yang dikenal dengan Little Italia. Pergi dari dan pulang ke flat, saya selalu lewati deretan cafe Italia, dengan sengatan aroma lipstik pelindung bibir warga dari cuaca dingin. Dan selalu ada seseorang di tiap cafe yang kerjanya cuma menawarkan menu spesial mereka kepada setiap orang yang melintas. Sayangnya, tak ada yang saya butuhkan: halal food.
Rijal, pria 60-an asal Indonesia sudah 40 tahun menetap di Victoria, ketemu saya di Masjid milik Komunitas Muslim Albania, memberitahukan bahwa ada beberapa warung melayu tak jauh dari tempat saya tinggal.
1. Ayam Goreng di Rumah Makan Minang
Saya hanya perlu jalan kaki melewati satu taman, Agryle Park. Rerumputan hijaunya menjadi kuning oleh daun-daun yang berguguran. Ketika di seberang jalan, saya melihat bangunan kaca bertuliskan Minang Indonesian Cuisine, Nasi Padang. Dan berlabel halal. Alhamdulillah.
Etalase kaca dipenuhi menu khas Indonesia. Saya pesan nasi dengan ayam goreng, dan kacang goreng yang besar-besar, serta kuah kari. Tidak ada daging rendang hari itu.
“Eat in atau take away?” tanya pelayan.
Eat in, jawab saya, artinya makan di tempat. Kalau bawa keluar, namanya take away. Terus saya bayar, 7 Australian Dollar (AUD), atau 72.100 rupiah saat itu.
Setelah pesanan siap, saya ambil sepiring nasi itu, lalu letakkan dalam talam besar bermotif daun pisang. Gratis sebotol air putih. Rasanya, lumayan untuk melepas rindu halal food.
2. Ayam Upin-ipin di Norsiah’s Kitchen
Pada hari berikutnya, saya mencoba jalan-jalan melewati warung padang itu. Hanya satu blok, ada Norsiah’s Kitchen. Restoran dengan menu tiga negara rumpun melayu: Singapore, Indonesia, Malaysia.
Saya di sini biasanya pesan ayam goreng yang besarnya seperti dimakan karakter animasi Upin-Ipin, juga teh tarik yang rasanya sama seperti di Canai Mamak Banda Aceh. Setumpuk kacang tanah goreng dan cah tahu-tauge menjadi pelengkap menu halal food saya kali ini.
“Ini baru enak, Bro. Besok-besok saya mau berlangganan di sini saja,” ujar Joanico Guterres, teman saya asal Timor Leste yang nonmuslim. Dia sangat toleran.
3. Tofu Bakar di Chai Restaurant
Sempat pula saya makan di Chai Restaurant, yang ternyata berlokasi di seberang jalan berhadapan dengan Rumah Makan Minang. Di restoran milik pengusaha perempuan Singapura ini, saya tertarik mencoba Tofu Bakar.
Ketika dihidangkan, tahu bakar itu ditaburi dengan irisan kacang tanah dan potongan buah mentimun Persia. Cukup maknyus untuk menemani nasi putih bertabur vegetarian dan risol/lumpia (spring roll).
4. Nasi Gurih di Killiney Kopitiam
Dia pun suka dengan menu di Killiney Kopitiam, yang sebenarnya cuma 3 menit jalan kaki dari lokasi saya tinggal. Ada menu nasi gurih dengan rasa Indonesia. Ikan teri, kacang goreng, ditemani secangkir kopi tiam khas Singapora sudah cukup menghangatkan badan dari cuaca dingin.
Setelah order menu, pelayan akan memberikan satu nomor pesanan, terserah saya duduk di mana. Misal di Killiney itu, saya dan Joanico dapat nomor 33. Kami boleh duduk di mana saja asal ada kosong. Saya teringat Indonesia, pelayan akan mencatat nomor meja tempat saya duduk.
5. Makan Bakso di Nelayan Restaurant
Nelayan Indonesian Restaurant pun demikian. Restoran dengan menu Indonesia terlengkap ini terletak di Central Business Districk (CBD), kawasan pusat bisnisnya Kota Melbourne.
Usai jalan-jalan melihat denyut kehidupan Aussie yang ramai dan menghibur di CBD, saya singgah di Nelayan, yang berjejer dengan rumah makan dari negara lain. Mereka sediakan banyak menu untuk melepas kangen warga Indonesia, mulai dari masak daging rendang, keripik, hingga bakso.
Saat pertama ke Nelayan, saya pesan bakso biasa. Namun terkejut begitu dihidangkan dalam semangkuk besar. “Saya bukan orang Barat yang harus banyak makan,” membatin. Akhirnya, saya hanya mampu menghabiskan setengahnya. Hidangan dengan porsi besar pun saya temui saat makan di restoran bukan melayu. Porsinya besar, kecuali kita minta setengah.
“Habiskan Pace. Satu porsi di sini sudah bisa kita traktir sepuluh orang kalau makan di negara kita,” seloroh Agusta Bunai asal Papua Barat.
Benar, kata dia, bagi kita baru injakkan kaki di luar negeri. Saat awal-awal belanja di Melbourne, pikiran kami memang langsung mengkonversikan setiap harga ke rupiah.
6. Minum Cendol di The Uleg
Saya juga sempat makan malam di The Uleg, restoran Indonesia di Brunswick, Melbourne. Restoran ini dipenuhi pernak-pernik berupa hasil kerajinan tangan Tanah Air. Mulai dari taplak meja, hiasan dinding, hingga puzzle kayu Jogja yang diletakkan di setiap meja. Mainan bongkar-pasang kayu inilah yang saya lakukan saat menunggu pesanan nasi putih dan sup, sate ayam dan es cendol.
“Kalau tidak bisa pasang, belum boleh pulang lho,” canda Eva, manajer The Uleg saat menghidangkan pesanan saya.
Terlihat halal food yang sangat Indonesia di daftar menu. Gulai ayam dan kambing, kari daging domba, iga, baramundi asinan, masak rendang, gado-gado, tahu isi, mi bebek, otak-otak, perkedel, risol, ikan bakar, siomai, hingga bihun.
Harga satu porsi nasi plus tiga menu tak jauh beda dengan restoran lain di Melbourne. Antara 7-10 AUD. Terjangkau bagi yang bekerja di sana atau studi dengan beasiswa.
7. Menggigit Roti Afghan di Shams Restaurant
Sekitar 30 km ke timur Melbourne, bunyi keroncong perut saya berhenti di Shams Restaurant, rumah makan halal Afghanistan di Kota Dandenong. Kota yang 60 persen warganya adalah para pencari suaka atau imigran.
Saya tak habis menggigit roti afghan yang seperti ban sepeda. Rasanya tawar, tebal dan besar dengan bentuk berundak-undak layaknya polisi tidur. Saya terpaksa harus bawa pulang. Tapi tidak dengan sate daging anak domba yang mantap di mulut.
8. Seruput Teh Masala di Ballarat
Ballarat kota bernuansa klasik 105 km ke barat Melbourne. Di sini saya berjalan kaki dari stasiun kereta api Ballarat ke Restoran Masala Valley. Saya sangat suka dengan kari sapi rasa India, rempah-rempahnya meresap dan terasa sekali di lidah.
Namun nasinya tidak enak, sama seperti nasi Afghan. Tapi, teh masala khas kampung Shah Rukh Khan sangat patut Anda coba jika sempat ke Aussie dan tak mampu ke India. Rasa dan warnanya hampir seperti teh tarik Malaysia.
Masak Sendiri atau Makan di Luar?
Australia, terutama Negara Bagian Victoria, dihuni masyarakat dari berbagai benua. Multikultural. Ketersediaan banyak restoran yang menyajikan makanan negara asal warga merupakan cara negara jajahan Inggris ini membuat kita betah.
Jika menelusuri sudut-sudut CBD, dijumpai banyak restoran yang menjajakan menu Asia, Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Sebagai muslim, mudah saja untuk menemukan halal food bila tak melihat label halal di rumah makan. Cukup amati daftar menu atau tanyakan pelyan apakah ia menjual menu pork (daging babi)? Kalau iya, sebaiknya cari di restoran lain.
Saya biasanya bakar roti di pagi hari. Siang membeli kentang goreng kalau tak dapat restoran dengan menu halal. Malam yang lebih free, saatnya bagi saya menelusuri restoran Asia, jika malas masak.
Masak sendiri di tempat tinggal ialah cara paling tepat menghemat dan menjamin kehalalan. Saya biasa belanja kebutuhan makanan sehari-hari di Woolworths, supermarket terbesar yang mematok harga terjangkau dan stok terlengkap. Tak perlu ke pasar A untuk beli ikan, atau ke toko C untuk beli payung, dan ke kedai E untuk beli buah. Semuanya ada di Woolworts.
“Muslim gampang belanja di sini, banyak produk berlabel halal,” kata Mashita, mahasiswi Melbourne University asal Malaysia.
Mengingat pengalaman makan selama bulan pertama di Melbourne, saya kadang tertawa sendiri dan keluar banyak ide untuk buka usaha kuliner di sana. Laku tidak, kalau kita jual sate matang, mi aceh, atau kopi gayo? []
Tulisan ini diadopsi dari artikel perjalanan saya berjudul “Eat, Free, Laugh; Berburu Makanan Halal di Aussie” yang dimuat Tabloid Pikiran Merdeka edisi 87 2015 dalam versi lebih pendek.
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
2 thoughts on “Berburu Halal Food di Melbourne, berikut 8 Rekomendasi”