FOTO : Makmur Dimila |
TIGA hari setelah ulang tahun saya yang ke-23, tepatnya Minggu, 22 Desember 2013, saya ketemu Ipan Setiawan di Sekretariat Komunitas Sahabat Pulau, Menteng, Jakarta Pusat.
“Senang sekali Ipan ketemu blogger Aceh, Kakak harus ke Garut,” sambutan hangat dari blogger Jawa Barat itu, sekaligus ajakan, begitu saya perkenalkan diri.
Besoknya, dalam perjalanan ke rumah kawan di Harjamukti, Cimanggis, Depok, saya gamang. Saya yang mulai terjangkiti virus traveling, tentu tak ingin membuang kesempatan. Tapi, sisa uang saya ketika sampai di Harjamukti, Rp 10 ribu lagi.
Rencananya, Ipan pulang ke Garut pada hari Rabu. Tapi, Senin malam dia telfon: “Kakak Makmur, Ipan pulang duluan ya, nenek Ipan meninggal. Kakak nyusul saja, entar Ipan jemput di Terminal Guntur,” ujarnya, lirih.
Pertama, innalillah. Kedua, musibah! Sudah tak punya duit, disuruh pergi sendirian pula. Benar-benar menantang. Namun saya mengabarkannya bahwa akan keukeuh ke Garut sesuai target.
Cimanggis Rabu itu cerah, saat saya muat sepasang pakaian ganti dalam backpack, meskipun isi ATM dan dompet tak menjamin saya berhasil ke Swiss van Java. Tapi berdoa kepada Allah usai salat sejak dua hari sebelumnya agar sampai ke Garut, membuat saya yakin.
“Bang, saya ke Garut ya, ada kawan menunggu di sana,” saya pamit pada Bang Yan, yang memberi tumpangan selama saya di Jakarta pada akhir 2013. Dia juga orang sekampung (Aceh), sudah lama merantau ke ibu kota.
“Ada uang?” selidiknya.
“Hm.. Ada,” saya tersenyum pasrah dan berkata dalam hati, “tapi cuma 10 ribu rupiah.”
“Benar ada uang?” sepertinya dia mencium gelagat saya.
“Ada…” sahut saya.
“Ini,” dia mengeluarkan dompet, mengeluarkan uang warna biru, “ambil saja untuk keperluan di jalan,” lekas dia masukkannya ke saku kemeja saya.
Rupanya, saya tak berbakat pembohong. Tak mungkin juga saya tolak. #rejeki gak boleh ditolak kan? padahal modus, haha. Saya kemudian diantarnya ke Terminal Kampung Rambutan, biar cepat sampai. Ayo kita doakan Bang Yan semoga dilancarkan rejekinya. Amiin. 😀
Untungnya, saya dapat tarif bus (Primajasa kalau saya tak salah ingat) ke Terminal Guntur, Rp 42.000 ribu. Artinya, saya masih punya kekayaan Rp 18.ribu. Horeee!
Senang menyala-nyala saat bus sudah melewati Bandung. Pegunungan di kiri dan kanan menyejukkan mata hingga sampai ke Terminal Guntur, Garut, pada pukul 18.00 WIB. Ipan nongol jelang magrib. Coba kalau dia tak muncul, saya tak tahu pergi kemana!
Kami menumpangi angkot menuju Pusat Kota Garut. Lalu merangsek ke “Malioboronya Garut,” kata Ipan. Turun dari alun-alun kota, kami jalan kaki memasuki Pusat Kuliner khas Garut. Ipan sarankan saya cicipi kupat tahu. Saya kira apa, rupanya tahu campuuur. Kalau di Aceh namanya lontong tahu. Tapi enak rasanya, Anda harus mencobanya kalau kemari!
Sebelum ke penginapan yang lux untuk tamu jauh seperti saya—preeet :p, Ipan bawa saya ke Masjid Agung Garut. Telat, semua pintu sudah digembok. Baru jam 9 malam. Dalam perjalanan ke Samangen, jalanan sepi. Rupa-rupanya, kata dia, warga Garut sudah di rumah mulai jam 9 malam.
Atas: kupat tahu. Bawah: Saya, Ipan, dan Dindin, makan bareng di Villa Samangen. FOTO: Pak Bleur. Kanan: sunset di Samangen. FOTO: Makmur Dimila |
Tibalah kami di Villa Samangen, Kampung Legok. Penginapan yang memberikan saya hadiah ulang tahun! Di sini pula saya bergaul dengan Dindin dan Pak Bleur. Pria dua anak ini seorang ahli terapi NLP, besoknya, saya langsung ditawarkan terapi. ‘Terapi rekreasi’ tapi ya. 😀
Gratis?
Iya, dong!
Kebetulan, Pak Bleur kedatangan rekan kerjanya dari Depok pada Kamis sore. Dalam rangka silaturrahmi dan liburan. Besoknya, pagi, kami akan ke Talaga Bodas. Saya dan Ipan duduk di jok belakang mobil Pak Bleur. Kawannya, Nanang dan keluarga mengekor dengan mobil pribadi.
Perlahan kendaraan membelah perkampungan melalui jalan beraspal. Mendaki Gunung Ngaro Kidul yang menyemburkan bau belerang. Panorama di kiri dan kanan, benar-benar sesuai julukannya, Swiss-nya Jawa, meskipun saya belum bisa mengkrosceknya karena belum pernah ke Eropah! 😀
Sayangnya, kami gagal sampai lokasi Talaga Bodas. Gerbang kesana ditutup sebab sedang ada perbaikan jalan. Kami balik lagi dan singgah di sebuah kedai berupa saung yang menghadap panorama beberapa pegunungan terkenal di Garut. Diantaranya, Gunung Papandayan, Cikuray, dan Guntur.
Kiri: Gunung Sadahurip. Atas: Jalan menuju Talaga Bodas. Tengah: Sadahurip dari saung singgah. Bawah: “ayo mampir” FOTO : Makmur Dimila |
Dari kedai di ujung tebing ini, paling dekat adalah Gunung Sadahurip yang sempat heboh dengan isu Piramida-nya Indonesia. Hati ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Ups! 😀 “Coba dibuat olahraga paralayang disini,” ujar Bang Nanang.
Namun, kami cukup puas menikmati keindahan alam, sambil ngopi. Kami kembali ke Villa Samangen di Kampung Legok (Kampung Samangen sekarang), Kecamatan Wanaraja. “Mur, kami mau ke Puncak habis Jumat, mau ikut?” tanya Pak Bleur.
Kalau pertanyaan ini dilontarkan pada Anda, apa jawabannya?
“Boleh, Pak, terima kasih diajak jalan-jalan lagi,” balas saya dengan senyum bahagia.
Saya cubit pipi. Alhamdulillah, bukan sedang bermimpi. Saya benar-benar bahagia, sebahagia nama program yang akan dijalankan Pak Bleur dengan Villa Samangennya, yaitu Taman Bahagia. (Baca tulisan saya tentang Taman Bahagia di sini)
Usai makan sehabis Jumatan, kami dengan rombongan yang sama, kembali menjelajahi Kota Garut yang selalu sejuk. Saya melihat banyak kereta kuda di jalan raya ke Pintu Barat Garut. Setelah satu jam, tibalah kami di objek wisata pemandian air hangat.
Saya tak memilih area Taman Air Puncak Darajat Waterboom, tetapi minta izin Pak Bleur, saya ingin menikmati Kawah Darajat. Dibolehkannya pula, asal kembali tepat waktu. Let’s get lost! Haha.
Eh, saya gak mau kesasar. Saya pergi dengan guide, Mas Soleh, yang tadinya sempat menawarkan jasa begitu kami tiba. Saya membayar jasanya 30 ribu sekali trip plus pendampingan selama di Kawah Darajat. Lokasi kawah berjarak 1 km dari puncak. Dari mana uangnya?
Dua hari sebelumnya, kawan saya yang juga adik angkatan di kampus, kirimkan duit untuk dibelikan buku. Dibilangnya: ambillah untukmu 50 ribu dari total yang kukirim, tapi untuk beli buku ya.” Maaf kawan. Ups! 😀
Kawah Darajat terletak di Gunung Cikuray. Gunung berapi ini berbatasan dengan Desa Padaawas, Karya Mekar, Kecamatan Pasirwangi. Kita hanya bisa menikmati trekking ke Kawah Darajat jika lokasi itu tidak sedang dicemari gas beracun (H2S).
Saya melihat pipa besar Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi sepanjang rute ke kawah. Di lokasi, bau belerang hampir menyumbat hidung saya, namun kepulan asap dari uap panas membuat pemandangan lebih cantik. Asap keluar dari empat titik kawah yang berdekatan. Serasa di film horor, sejuk dan mengerikan.
Tengah: saya, dong! FOTO Soleh. 😀 Atas: Kawah Darajat. Bawah: Puncak Darajat. FOTO: Makmur Dimila |
Setelah satu jam, kami kembali ke Puncak Darajat. Tepat waktu. Saya tidak harus menginap di puncak seandainya mereka telah cabut duluan. Xixixi..
Besoknya, saya pamitan dari Taman Bahagia. Ipan kemudian menjamu saya ke rumahnya sebelum berwisata ke Perkebunan Teh Dayeuhmanggung. Di sana, di antara tanaman teh, saya berujar: “Wisata ke Garut adalah hadiah ulang tahun saya yang tertunda, syukur kepada Allah.”
Atas: Ipan, warga, dan saya (FOTO: Ipan). Bawah: perumahan di kebun teh. FOTO : Makmur Dimila |
Pengalaman yang takkan saya peroleh seandainya langsung pulang ke Aceh usai menghadiri sebuah even di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, pada 15 Desember. Di even itu pula saya sesungguhnya mengharapkan kado ulang tahun. Tapi, skenario hidup telah membuktikan.
Malam itu juga, saya dan Ipan kembali ke Jakarta. Tiket ditanggungnya pula. Saya belum mampu membalas hutang budi Ipan, Pak Bleur, Bang Yan, kawan yang nitip buku, dan orang-orang lain yang membantu saya dalam perjalanan. Hanya bisa mengirimkan doa kesejahteraan.
Nah, kemudian, saya juga sempat menikmati malam pergantian tahun di Bundaran Hotel Indonesia, seraya menanti dikirimi uang beli tiket pulang ke Banda Aceh.
Bagi saya, travelling bukan seberapa banyak uang yang kamu miliki, tapi seberapa besar keinginanmu mengenal ciptaan Tuhan. Pasti ada orang yang mengirimmu uang. Semoga, cerita di BLOG JALAN JALAN ini menginspirasi Anda. 🙂 []
Writer : Makmur Dimila
Garut julukannya Swiss van Java yak?
Keren… pengin deh, bolang ke sana
Yoi dong. Harus ke sana, nikmati petualangan dengan sensasi menyejukkan. 😀