Kami menginap di Meukhana Hotel, Kota Calang, hotel yang sudah ada sebelum tsunami 2004. Di lobi hotel lantai dua ini, saya melihat pajangan peta-peta objek wisata Aceh Jaya. Termasuk juga info-info transportasi.
[hr style=”dashed”]
Objek wisata Kuala Dhoe yang terkenal dengan Camp Eropa menarik perhatian kami. Jaraknya 13 km dari Kota Calang, sebut infografis itu. Selepas siang, kami keluar Kota Calang ke arah Banda Aceh.
Di KM 136-135, kami masuk melalui tikungan sebelah kiri yang juga jalan lama Meulaboh-Banda Aceh. Kami cari-cari jalan masuk. Rinaldi yang sempat men-search beberapa kontak, coba menghubungi orang bernama Hasan.
Kami masuki jalan kampung. Dan berhenti ketika melihat seorang pria paruh baya melintas dengan becak motor.
Bapak kenal Pak Hasan, kami mau ke Kuala Dhoe?”
Dia diam sebentar.
“Saya Hasan.”
Oo! Kami yang bungkam. Tapi tak yakin, Naldi menelpon ulang. Bapak itu mengangkat hapenya. Klik. Mereka saling halo-halo di tempat yang sama. Haha.
Lantas ia bawa kami ke objek wisata Kuala Dhoe. Saya duduk di belakangnya. Dia cerita soal Camp Eropa. Semasa kecilnya, pantai Lhok Geulumpang—bersambung dengan pantai Kuala Dhoe—dikenal dengan Camp Eropa.
Dicap Camp Eropa karena banyak turis Eropa datang ke sana untuk berlibur. Maklum, pengelolanya adalah David asal Jerman yang kemudian terkenal dengan nama Daud Jerman setelah menikahi wanita setempat. Dialah yang membangun wisata di sana pada tahun 90-an ke bawah, sebelum kejayaan itu berakhir karena konflik dengan warga lokal.
“Waktu kecil, saya sering beli-beli minuman untuk bule yang menikmati keindahan Lhok Geulumpang,” cerita Hasan.
Kini ia menghentikan becaknya di halaman dua bungalow kayu, tak jauh dari tepi pantai Kuala Dhoe.
Satu miliknya di utara, satu lagi punya turis Jerman di selatan. Dia pamit dan meninggalkan kami dengan bule itu.
Namanya Hermann Hoepfner, usia 69 tahun. Badannya agak kecil. Kumis tebalnya putih lebat melengkung dan nyambung dengan janggut. Dia bisa berbahasa Indonesia meskipun saya harus berkonsentrasi penuh menyimak bicaranya.
Dia kenal Daud Jerman. Menurutnya, Daud pergi karena ada masalah dengan orang setempat.
Saya menyinggung soal bungalownya yang kebanyakan berkonstruksi batang kelapa. Dia bilang, bungalow di Kuala Dhoe itu bukan untuk komersialisasi. Hanya untuk pribadi.
Saya tidak mau berbisnis di Indonesia. Kalau berbisnis, saya tidak akan lakukan di sini, saya akan pergi ke Singapure, Thailand, dan negara-negara yang enak diajak bisnis.”
Wajahnya tegang. “Saya suka menyendiri. Saya suka pemandangan alam di sini tapi tidak suka keributan,” lanjutnya.
“Bagaimana kalau Kuala Dhoe ini jadi objek wisata massa?”
“Saya akan lari dari sini!”
Dia beralasan bahwa orang Indonesia tidak suka bekerja dan suka menipu. Hallooo, benarkah demikian?
Dia mengumpamakan, jika dia mempekerjakan lima orang, maka yang benar-benar kerja cuma satu orang, sisanya cuma melihat-lihat kawan kerja dan membicarakannya.
Saya manggut-manggut saja, saya tidak begitu percaya omongannya. Tapi sebelum berpisah, saya minta Ikbal Fanika untuk mengabadikan saya dengan bule Jerman itu.
Menjelang senja, kami melangkah ke bekas Camp Eropa. Sekitar 100 meter dari bungalow itu. Ada bekas bangunan rusak di sana, di antara pepohonan ketapang besar. Pantainya lumayan luas, cukup untuk bermain bola pantai. Sunset pun terlihat jelas dari sini, sayangnya hari itu cuaca kurang mendukung.
“Terima kasih, Ofner, sampai jumpa,” saya setengah berteriak dari dalam mobil kepada bule tua itu, saat pulang. Terngiang-ngiang di kepala saya, benarkah apa yang diujarnya di atas? Heum.. []
Writer : Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂