Dinginnya Puncak Lageun

puncak lageun safariku
Nekat saja, malam itu kami bertolak dari Kota Banda Aceh menuju Aceh Jaya. Dini hari tepatnya. Dengan mobil rental, kami melibas jalan nasional barat-selatan Aceh yang mulus. Saya melihat gemerlap lampu bangunan di kaca mobil: sepertinya orang-orang sedang larut dalam bunga tidur.

Sementara sopir kami yang juga kru Majalah Aceh Tourism tak boleh tidur. Harus hati-hati karena Kawasan Lhoong, Gunong Kulu, dan Gurutee banyak terdapat material longsor. Akhirnya saya harus menemani Rinaldi yang mengemudi hingga kami berhenti di Lamno.

Sudah jam 3 pagi. Usai bertanya-tanya pada warga, kami menelusuri objek wisata Pantai Lhok Gelumpang–tanpa melalui Puncak Lageun. Konon katanya pantai ini pernah dikelola turis Jerman dan sangat populer sebelum 2000-an.

[hr style=”single”]

Mobil memasuki jalur off road dalam sebuah hutan perbukitan di kanan jalan nasional. Sepi dan menyeramkan. Naldi yakin itu jalurnya sebab ia pernah datang ke sana sendiri beberapa tahun lalu. Tapi akhirnya usai bermenit-menit, hanya jalan buntu kami temui. Pandangan malam hari membuatnya sulit bergerak.

[hr style=”single”]

Pagi semakin dekat, hawa dingin kian tajam menusuk tulang. Tanggung mencari penginapan sepagi itu. Kami kembali ke jalan raya, balik arah Banda Aceh, lalu melipir ke bekas jalan nasional Banda Aceh – Calang.

Saya pernah melalui jalan ini pada tahun 2010 sebelum siap dibangun jalan baru bantuan USAID. Ada banyak gerai di tepi tebing sepanjang jalur lama itu. Ombak menggoda kami untuk tidur. Kami cari gerai yang bisa kami jadikan ranjang. Tapi semuanya basah.

Kesimpulannya, kami berlima, berhenti di depan kedai Puncak Indah Lageun. Kedai itu tak buka, namun ada banyak saung bambu di muka kami. Fajar menjelang, saya dan seorang kawan merebahkan tubuh juga di salah satu gerai pinggir tebing. Sementara yang lain istirahat dalam mobil.

Ketika hari mulai cerah, jam 6 pagi, dingin di Puncak Lageun sungguh menyiksa.

Saya terbangun dan menikmati Teluk Rigaih perairan Aceh Jaya dari pinggir tebing. Sebuah pulau tampak dekat di depan kami, saya melihat boat nelayan mancing di sana.

puncak lageun safariku
Si Ikbal senang dia lihat kawannya ketiduran di saung, bukan dibanguni bentar. 😀 Photo : Makmur Dimila

“Itu disebut Pulau Cek Baih,” kata pemilik kedai saat kami pesan teh jam 7 pagi.

Saya melihat di kedainya, kami berada pada KM 143 (jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh lama) dan KM 132 untuk jalan baru yang dibangun USAID, di Gampong Lageun, Kecamatan Setia Bakti.

Semakin pagi, dinginnya makin menggila. Sembari ngeteh, saya melihat boat nelayan lalu-lalang dari Pulau Cek Baih ke Pantai Lhok Geulumpang di selatan yang terlihat dekat dari sini. Pantai yangg sebenarnya kami sudah mulai menelusurinya tadi.

puncak lageun safariku
Eh, ada punggawa Juventus menikmati Pulau Cek Baih. Photo : Makmur Dimila

Baru setelah sarapan pagi, kami bertolak menuju Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya. Mencari penginapan. Sorenya, kami kembali ke Puncak Lageun, berburu matahari tenggelam.

puncak lageun safariku
Gerai di kedai wisata Puncak Lageun. Photo : Ikbal Fanika

Ada banyak remaja wara-wiri dan bercengkerama pada sore 24 November 2014 itu. Tapi sayangnya, gerimis jatuh, sedikit mengganggu pengambilan gambar. Sunset tampak blur. Tapi dua fotografer kami justru memanfaatkan momen itu dengan teknik low speed.

lageun safariku
Senja di Puncak Lageun yang mendung, versi iPadmini. Photo : Makmur Dimila

So, saya hanya ingin katakan, Puncak Lageun salah satu spot rekreasi favorit bagi warga Aceh Jaya. Di sana juga dijajakan rujak, kelapa muda, dan minuman ringan lainnya sembari Anda nikmati samudera.[]

Writer : Makmur Dimila

Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂

 

One thought on “Dinginnya Puncak Lageun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *