Bumi dilubangi untuk memuaskan hasrat manusia menghias diri. Batu alam seakan-akan pujaan yang tak bisa lepas dari jemari.”
[hr style=”single”]
November lalu, saat bepergian ke Calang, Aceh Jaya, saya ngopi di sebuah cafe di Kota Calang, bersama empat teman perjalanan.
Semua lelaki yang duduk di kedai itu membicarakan giok sembari mengamati batu cincin di jemari. Ketika tatapan mereka mendarat di tangan kami, “Dari pat Bang, jamee nyoh?/Dari mana Bang, tamu ya?” tanya seorang dari mereka.
Loh, kok tahu?
Jelas kami mati kutu, karena tidak satupun dari kami yang mengenakan cincin. Kami hanya bisa memperlihatkan senyum.
Senyum kami menjadi kecut ketika menyimak cara seseorang di situ pesan kopi. Dia memanggil pelayan, bukan sebagaimana kita menyapa orang, tetapi membalikkan tapak tangan untuk memperlihatkan jemarinya yang penuh cincin berbatu mulia, duh!
Tidak hanya di Aceh Jaya, seluruh Aceh demam giok sekarang ini. Bahkan di ibu kota provinsi, kios batu mulia dan lapak-lapak batu lahir dadakan bahkan prematur.
Saking gilanya, suatu hari saat istirahat di kantor sepulang liputan, ada peminta-minta datang. Ia pertama minta sedekah, okelah, tetapi ketika beranjak pergi, sempat-sempatnya ia tawarkan: “Mau beli giok, Nak?” tutur perempuan tua seraya menyodorkan bongkahan kecil batu di tapak tangannya.
Duh!
Pun ketika saya ke Pidie atau bertemu kawan-kawan lama di daerah lain, semuanya pada menanyakan giok. Begitu pula saat bepergian ke bukit-bukit atau hutan, kawan perjalanan akan nyentil “jangan lupa lihat kiri kanan, siapa tahu ada giok.”
Namun, kebanyakan pejalan/petualang yang saya temui, atau orang-orang yang bepergian ke luar daerah, mereka termasuk golongan antibatu. Mereka pegang prinsip “mencintai lingkungan” bahkan tidak melibatkan diri dalam hiruk-pikuk giok.
Golongan yang disebut pecinta alam–bukan pecinta batu alam–memiliki pandangan bermakna dibanding golongan sebaliknya yang berlomba dapatkan uang dari bisnis batu.
Bahwa, bumi terancam amblas dengan semakin maraknya diambil batu mulia. Kita tahu lah, bahwa batu mulia itu tersimpan di gunung-gunung dan sungai.
Petambang batu mengeruk gunung yang dideteksi mengandung giok atau jenis-jenis lainnya. Setiap hari, pemburu batu mulai dari Aceh Tengah hingga Aceh Selatan, melubangi bumi (hanya) untuk kesenangan sesaat.
Baru-baru ini juga dinyatakan bisnis batu alam menjadi sumber ekonomi baru masyarakat Aceh. Hal ini dianggap positif karena sedikit mengurangi angka pengangguran–secara mendadak, meskipun pemerintah mengingatkan masyarakat agar menjaga kesimbangan alam atau tidak berlebihan dalam mengeksploitasi batu.
Bila hanya uang yang diharapkan dari batu, tanpa memerhatikan kebutuhan alam–yaitu alam butuh kepadatan tanah gunung atau bawah sungai untuk menyangga bumi–bukan tak mungkin, Aceh tenggelam. Apalagi melalaikan kewajibannya terhadap Sang Pencipta hanya gara-gara ‘memuja’ batu.
Konon batu alam merupakan salah satu sumber dingin bumi selain pepohonan. Jika terus-menerus digerogoti, gunung-gunung yang umumnya mengandung unsur panas, terancam meledak atau ambruk.
Saya sendiri membayangkan, bisnis giok tak ubahnya bisnis musiman lainnya yang pernah berlangsung di Aceh, seperti bisnis bunga eforbia atau ikan lohan sebelum tsunami 2004. ‘Kedua pendahulu’ ini hanya heboh beberapa tahun saja sebelum dilindas kebosanan.
Kecuali itu, fenomena demam giok memunculkan saya satu pertanyaan yang mungkin sulit diterima: apakah gunung yang dilobangi manusia untuk mengambil batu mulia itu merupakan pintu keluar bagi dajjal di akhir zaman ini? Atau justru batu-batu mulia itu sendiri adalah wujud lain dari dajjal masa kini?
Nah!
Saya hanya menduga dan beropini, kasihan melihat alam ini. []
Writer : Makmur Dimila