Saya dikejutkan oleh pengalaman menelusuri dua terowongan bawah tanah di Kecamatan Muara Tiga (Laweueng), Kabupaten Pidie, Aceh. Dua guide kami hari itu menyebutnya Kurok-kurok Jepang. Alasan mereka, dua terowongan itu merupakan peninggalan tentara Jepang yang menjajah Indonesia pada 1942-1945.
Tetapi ada juga yang menyebutnya Guha Jepang. Baiklah, apapun namanya, saya tak sabar ingin share seperti apa dua terowongan tersebut, barangkali Anda punya wawasan lain.
[hr style=”double”]
“Masuknya lewat Simpang Beutong,” kata Maulana Akbar yang memandu Safariku bertualang ke Guha Jepang Laweueng hari itu, Minggu 25 Januari 2015.
Simpang Beutong salah satu pintu masuk ke objek wisata Guha Tujoh, letaknya persis di bibir jalan nasional Banda Aceh – Medan, sebelah kiri setelah pasar buah pinggir jalan bila datang dari Banda Aceh. Tapi hari itu kami bertolak dari arah sebaliknya, yaitu Pasar Padang Tiji, Pidie, dengan menghabiskan waktu 10 menit berkendara pelan untuk mencapai Simpang Beutong.
Dari simpang itu, kami menempuh rute off road (bebatuan tanpa aspal) pada sebuah tikungan. Melewati dua persawahan yang disela sebuah waduk kecil.
Langit kusam. Tapi saya merasakan wajah berseri ketika Akbar bilang sudah sampai di sebuah bukit, sebagai titik poin pertama treking. Kami parkir motor di balik sebuah bukit yang masih dapat dilalui roda dua, dekat pepohonan liar.
Saya ditemani Boy ke Guha Jepang. Ia sahabat #safariku dari Pidie.
Akbar didampingi Bun, keduanya anggota Pengkajian Ulang Potensi Kecamatan (PUPK) yang sering masuk ke hutan-hutan di wilayah Kabupaten Pidie.
Kami lantas turun melalui lereng perbukitan yang berkontur batu karang. Di rute pertama ini kami harus terobos jalur berkanopi semak belukar. Saya melihat bekas tapak kaki lembu di tanah becek, sebelum keluar dari lorong rimba itu.
Di hadapan kami, beberapa bukit gundul nan tandus membentang. Pepohonan jomblang tumbuh di beberapa sisi, sayangnya belum masa berbuah, sehingga kami tak dapat oleh-oleh dari alam. Bukit-bukit itu seperti di Lamreh dan Bukit Soeharto di Aceh Besar bagian timur.
Bentuk alam tersebut juga sempat membuat kami repot mencari pintu masuk Guha Jepang. Hampir putus asa, untung saja ada boh reuem yang bisa menggantikan minuman saat haus. Ini pertama kalinya saya merasakan enaknya boh reuem; awalnya terasa pahit, kelat, asam, dan ujung-ujungnya agak manis.
Pun pada akhirnya, Akbar dan Bun menemukan kembali ingatan mereka, bahwa letak mulut gua ada di balik bukit yang bagaimanapun saya sebutkan bentuknya, Anda tetap buta kalau belum mendatanginya. Jalur menuju pintu masuk gua tersembunyi semak-semak.
“Kita sudah sampai,” Akbar mempersilakan.
Boy yang memakai head lamp (lampu kepala) dianjurkan berjalan di depan, menyorot pintu masuk. Tetapi cahaya yang masuk dari mulut gua di hadapan kami, hampir tidak membutuhkan sinar lampu itu kecuali untuk memotret dan menerawang lubang-lubang kecil dalam gua serta nama pejalan sebelumnya yang diukir pada dinding gua.
Kami tak menemukan stalagmit ataupun stalagtit, sebagaimana dalam gua alami lainnya; ini pasti buatan manusia pada suatu masa. Justru kami kagum dengan teknologi galian ruas-ruas kecil pada dindingnya.
Di kedua sisi dinding, terdapat ruas yang berkesan seperti lubang persembunyian serdadu jika gua diserang lawan; ruas itu cukup muat satu orang dewasa. Jika bukan untuk melindungi diri, ia boleh juga saya sebut seperti peti Mumi dalam Piramida. 😀
Terowongan itu memiliki luas sekitar 20 x 3 x 2 (p x l x t, masih ingat rumus Luas dalam Matematika, kan? :D). Terbuat dengan tanah alami. Di dalamnya lembab dan dingin.
Keunikan lain tampak di luar. Ada bekas gelanggang kecil berbentuk lingkaran yang terbuat dari beton. Di tengah-tengahnya, lubang seluas drum minyak menganga ke bawah tanah, sekitar 3 meter kedalamannya; mirip sumur. Dinding sumur itu berupa susunan batu besar.
“Sepertinya bekas tempat sembahyang tentara Jepang beragama Budha,” tebak Bun. Saya sendiri melihatnya sebagai lubang penyimpanan logistik. Akbar menyebut arena penyiksaan tahanan.
Kami pun makan siang di gelanggang Guha Jepang. Nasi bungkus yang kami beli sebelum masuk Simpang Beutong, disatukan, makan bersama seperti kenduri maulid dalam adat Aceh. Enaknyaaa. 😀
Penelusuran belum usai. Kami baru melalui Kurok-kurok 2. Selanjutnya kami akan masuki Kurok-kurok 1. Letaknya di bukit lain tapi saling berdekatan. Masuknya masih melalui semak-semak, strategi pengabur jejak pada masa itu, barangkali.
Tapi Bun dan Akbar yang berpengalaman, membawa saya segera tiba di gua yang lebih dulu harus kami masuk sebenarnya. Bak uret (bahasa Indonesia: tanaman jalar) menyambut kami di pintu masuk Kuruk-kurok 1. Ia meliuk-liuk dan menggayut sepanjang terowongan, menciptakan kesan seram.
Kami juga melihat ruas-ruas persembunyian. Namun Guha Jepang ini lebih pendek dari yang satu lagi, barangkali sekitar 10 meter. Di depannya juga memiliki garis lingkaran menyerupai gelanggang.
Halaman depan dua situs sejarah itu mengarah ke Selat Malaka. Pandangan saya tak mampu menemui lautan Selat Malaka di timur sana, ketika berdiri di kedua puncak bukit Guha Jepang Laweueng ini, yang jauhnya mungkin satu mil. Sebab terhalang bukit-bukit dan lembah-lembah.
Tetapi bila berbalik badan, di barat, kita disuguhi panorama alam yang indah. Dua persawahan yang kami lalui tadi bahkan tampak memesona dari atas bukit-bukit yang kami lalui hari itu, dengan latar Gunung Seualawah Inong.
Sepulang dari sana, beberapa hari kemudian, saya cerita dan perlihatkan pada rekan kerja. Dia kaget dan bilang: “Kurok-kurok Jepang biasanya dibuat dengan beton dan di pinggir pantai. Ini pasti peninggalan kehidupan masa lampau, bukan penjajahan Jepang.”
Oow!
Writer : Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
[ Bila Anda butuh guide untuk mencapai Guha Jepang ini, Safariku bisa membantu sediakan pemandu lokal. Hubungi kami di [email protected] atau kontak +62852 7745 8485 ]
Lihat juga, foto-foto lainnya di sini.
6 thoughts on “Bertualang ke Guha Jepang Laweueng”