“Watashi ni shitaga-tsu.” Daisuke Ogawa memancing penonton Aceh International Rapai Festival (disingkat Aceh Rapai Fest) 2016. Guna mengikuti tepuk tangan yang dilakukannya sembari dipukulnya wadaiko.
“Satu.”
Penonton dari bawah panggung menepuk tangan tiga kali.
“Dua.”
Tepuk tangan tiga kali lagi membakar semangat Ogawa.
“Tiga.”
Tujuh kali tepuk tangan penonton memecahkan keheningan malam penutupan Aceh Rapai Fest di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.
Gerimis mengguyuri Banda Aceh semenjak sore tak surutkan semangat warga menyaksikan perhelatan musik kelas dunia itu—yang pertama kalinya di Banda Aceh.
Langka, dalam satu festival di Aceh, tampil pemusik dari beberapa negara Asia. Berkolaborasi dengan seniman lokal dan domestik. Bertubi-tubi, selama 26 – 30 Agustus 2016, saya dihibur mereka, meski arenanya basah.
- Rapai | Aceh
Antusiasme warga Banda Aceh (juga tamu dari luar Aceh) menyaksikan Aceh Rapai Fest terlihat di malam pembukaan.
Mereka terpikat oleh atraksi seni musik dan tari dari panggung utama di Taman Ratu Safiatuddin.
Di bawah sorotan lampu warna-warni, 150 penari Aceh berkolaborasi. Satu kelompok menabuh rapai sembari berdiri di tepi panggung. Satu tim lagi menabuhnya seraya duduk melingkar.
Joel Pase, musisi etnik Aceh, memberikan nafas rapai kolosal dengan lantunan Pasang Jabet, tembang yang menceritakan musik rapai. Dia mengenakan jubah dan sarung Ija Kroeng Motif Gayo.
Tabuhan rapai menggema. Ritmenya, pelan-pelan lalu cepat. Joel Pase menari dan meloncat-loncat. Penonton bersorak. Tentu saja, banyak orang ambil dokumentasi. Saya merinding.
- Klong Yaw | Thailand
Kalimat pertama berbahasa Thai penari Absolutely Thai langsung membuat seribuan penonton tertawa.
Belasan penari asal Thailand itu pamerkan atraksi dengan gerakan dan ucapan yang terdengar lucu.
Mereka lalu suguhi musik etnik menggunakan alat klong yaw (jimbe), ching (lonceng), dan ka po (tempurung kelapa).
Paling menarik bagi sebagian penonton, adalah wajah penari putri Thailand. Nyaris saja, tak ada perbedaan dengan gadis Aceh, jika mereka tak melontarkan Bahasa Thai dan kenakan jilbab.
Masyarakat Thailand biasanya menggunakan klong yaw di setiap acara pembukaan dan peristiwa-peristiwa penting atau bahagia sebagai bentuk perayaan. Kata Kung, Manager Absolutely Thai, kepada Tim Media Center Aceh Rapai Fest 2016.
Itu pengalaman pertama mereka ke Aceh dan Indonesia. Mereka senang. Mereka belajar banyak soal budaya Tanah Rencong dan Nusantara. “Kami menemukan banyak kesamaan antara budaya Thailand dan Aceh,” imbuh Kung.
- Sitar Pejman Jahanara | Iran
Musik sufi membekap mulut penonton pada Minggu malam ketiga Aceh Rapai Fest.
Mohammad Reza (Pejman Jahanara) memetik dawai sitar. Dia memangku alat musik tradisional khas Iran itu, diiringi penari sufi khas Turki (Whirling Dervishes) yang berputar-putar di muka panggung. Bak sedang di Padang Pasir.
Sitar, kata Reza, instrumen utama dan tertua asal Iran yang menunjukkan identitas negara dari Bangsa Arya itu. Sitar yang memiliki 7 dawai menurutnya cikal-bakal dari gitar modern yang dikenal sekarang.
“Sitar ini sudah dimainkan di beberapa negara seperti India dan beberapa negara Eropa, tentunya dengan gaya permainan yang berbeda-beda,” jelas Reza kepada Tim Media Center Aceh Rapai Fest.
- Guzheng Miladomus | China
Malam keempat, saya cukup puas menyaksikan atraksi perkusi dari Miladomus, sekolah musik yang mengangkat budaya internasional.
Di panggung utama, Eni Agustien, kepala guru guzheng di Miladomus, memainkan guzheng (kecapi Cina) dengan mengenakan pakaian Dynasti Han. Ia ditantang seorang muridnya yang memainkan jimbe.
Seorang lagi, Anes Guo, Kepala Sekolah Miladomus, berpakaian Cheong San, juga siap-siap menerima tantangan. Alat andalannya, ia mengucap kepada penonton, “buzhing”, mirip gitar.
Acap kali si murid mendekati Eni dan Anes, beradu ciamik memainkan alat musik masing-masing. Memancing tawa penonton. Cukup spektakuler.
Menurut Anes, guzheng alat musik berasal dari Tiongkok sekitar 2000 tahun lalu. Dikenal juga sebagai qin zheng, karena berasal dari Dinasti Qin (221-206 SM) di Provinsi Shaanxi. Lalu populer pada Dinasti Tang (618-907 M).
Guzheng kata Anes, biasanya ditampilkan pada acara-acara kenegaraan. Kini sering dimainkan pada even kebudayaan seperti Aceh Rapai Fest.
- New Age Malay Fieldplayers | Malaysia
“Oyoyo yo katakan oyoyo
“Oyoyo yo semuanya…
“Yang si fakir makin fakir
“Yang si jahil makin jahil
“Akhir masa makin hampir
“Jangan jadi si fakir jahil
“Oyoyo yo ku kata oyoyo
“Oyoyo yo katakan oyoyo”.
Jart Hassan, melantunkan lirik lagu top dari band asal Malaysia, Fieldplayers. Dia dan lima personil lainnya memberikan nuansa berbeda pada Aceh Rapai Fest di Minggu malam.
Fieldplayers menyanyikan tiga lagu ber-genre New Age Malay. Jenis eksperimental yang bersumber dari musik tradisi melayu. Dengan paduan drum, perkusi, gitar, bass, dan keyboard.
- Tompi & Friends | Indonesia
Tompi, musisi jazz Indonesia asal Aceh, menyentuh emosional penonton pada malam penutupan Aceh Rapai Fest 2016.
Dia berkolaborasi dengan musisi profesional lainnya.
“Malam ini saya membawakan tamu spesial dari Jerman, pianis berdarah Aceh, Cut Nyak Deviana Daudsyah.”
Tangan kanan Tompi mengarahkan mata penoton ke sosok perempuan yang duduk menghadap piano di ujung kanan panggung.
Nama yang sangat asing bagi orang Aceh. Pun saya. Wajar. Sebelumnya ia lahir dan besar di Jakarta. Lalu sekolah musik dan berkarier di Jerman. Hingga kembali ke Indonesia pada 2000. Kemudian mendirikan Institut Musik Daya Idonesia yang berstandar internasional.
Cut Deviana lantas diminta Tompi menciptakan aransemen untuk lagu Bungong Jeumpa, untuk tempo lambat dan ngebeat.
Sajian ‘world class music’ kian kentara terasa saat naiknya Steve Thornton, Gilang Ramadhan dan Daood Debu. Saya bagai menghadiri konser jazz internasional.
- Taiko Ogawa Daisuke | Jepang
Sebelum Tompi dan krunya tampil, Ogawa Daisuke menghibur penoton dengan tiga karyanya.
Dia menggunakan alat musik instrumen pukul khas Negeri Sakura, wadaiko atau disebut juga taiko.
Ogawa-san,mengajak penonton berinteraksi, walaupun tak bisa berbahasa Indonesia. Musisi yang telah membimbing 10 ribu peminat taiko itu bahkan turun panggung sambil bermusik.
Di sela-sela aksinya, seniman kelahiran Hokkaido itu bertutur dengan penonton, dibantu penerjemah.
“Watashi wa Indoneshia to koi ni sōdesu/Saya sangat mencintai Indonesia.”
Ogawa-san sudah enam kali ke Indonesia. Baru kali ini ia ke Sumatera dan Aceh. Dia terkesan dengan keramahan masyarakat Aceh.
“Umaku ikeba, rainen, watashi wa ache ni futatabi shōtai sa remashita.”
Dia berharap kembali diundang pada Aceh Rapai Fest tahun selanjutnya.
.:: INSIGHTS ::.
Aceh Rapai Fest 2016 digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh didukung Kementerian Pariwisata. Mengangkat kembali musik perkusi Aceh dan memperkenalkan msuik tradisonal dari bangsa Asia.
Festival itu juga untuk menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara datang ke Aceh. Sekaligus mengukuhkan Aceh layak menjadi destinasi budaya ramah wisatawan muslim dan nonmuslim secara internasional.
Pada malam pembukaan, Asisten Deputi Pengembangan Segmen Pasar Personal Kementerian Pariwisata, Raseno Arya, sempat berujar, “Masukan saya kepada Pemerintah Aceh, kita harus membuat event ini lebih besar lagi tahun depan.”
“Saran saya, untuk tahun 2017 kita selenggarakan di Jakarta agar gaungnya lebih terasa,” Arya memberi semangat.
.:: VOTE FOR ACEH ::.
Aceh sedang mengikuti Kompetisi Pariwisata Halal Nasional. Berlangsung sejak 26 Agustus – 15 September 2016.
Jika menang di kategori yang masuk nominasi, akan mewakili Indonesia pada ajang World Halal Travel Award 2016 di Dubai.
Silakan vote demi kemenangan Aceh di Kompetisi Pariwisata Halal Nasional untuk kategori 1, 2, 10, 14 lewat laman:
http://bit.ly/voteaceh
halaltourism.id
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
ingat kali kalimat pembuka dari tarian Thailand… 🙂
yang terbang putih-putih di panggung itu apa ya? dr malam pembukaan uda ada yang terbang-terbang gitu..
hihi.. #pertanyaan_ngaur
btw, keren sangat-sangat acaranya
Haha, cukup berkesan ya.
Yang terbang2 itu, kalau maksudnya seperti fogging, itu bagian dari settingan pagggung. Tapi kalau yang bintik2 putih, itu kayanya tempias hujan. Atau? 😀
Waaarrhg kereen. Sayang sekali akunya nggak bisa lihat langsung. Tapi nggak apa, tulisan Makmur dan foto-foto sudah menceritakan serunya festival rapai. 🙂
Acaranya 5 malam tapi ga sempat datang sekalipun?
Okelah. No masalah. Semoga tulisanku benar2 memenuhi aspirasimu. Hehe
one question bro
akankan event keren ini menjadi event tahunan di aceh?
berharap banget ada lagi tahun depan. belum sempat nonton euy 🙁
Disbudpar sempat bilang akan jadi annual event. Saya yakin akan jadi agenda tahunan Disbudpar Aceh jika terus didukung semua kalangan. 😀
Nah nah, semoga akan diadakan tiap tahun ya. Siapa tahu ntar tahun depan bisa liat langsung di Aceh. #MupengAceh
Rencananya memang akan jadi annual event Om. Semoga bisa nonton ke Aceh tahun depan yak. Amin.. 😀