Di antara kerumunan warga Kota Sabang, ada Isabella, bule yang juga nakhoda kapal yacht SY Manta asal Inggris. Rambutnya pirang dan tentu masih kalah gelap dengan karung goni yang baru saja ia masuki.
Saya yakin, dia bakal jadi Rising Star dalam lomba balap karung memeriahkan Tujuh Belasan HUT RI Sabang Marine Festival (SMF) 2016. Dia menyeringai, menunggu aba-aba dari juri.
Begitu peluit ditiupkan, langsung saja dia melompat kegirangan, mendahului perempuan Sabang lainnya. Aksi mereka di lapangan hijau itu bagai kangguru sedang melompat-lompat di padang rumput Australia.
Yel-yel menggema. Dan Isabella menang! Dia memang paling aktif selama berlangsungnya festival bahari Sabang itu, bahkan semenjak malam Gala Dinner di Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).
Lupakan Isabella. Saya punya agenda sendiri. Ingin menikmati Pulau Weh sebebas-bebasnya. Untung saya bawa motor sendiri dari Banda Aceh.
Dari lapangan di Kota Atas, saya turun ke Pelabuhan CT3 yang sedang berlangsung lomba mancing. Sejumlah pria duduk di bibir pelabuhan baja, menggantungkan kaki ke bawah, sembari menunggu strike pancingannya dari dalam Teluk Sabang.
Membosankan!
Syukurlah, sepasang paramotor meraung-raung di udara, dengan mengibarkan panji bertuliskan Sabang Marine Festival 2016. Lalu-lang paramotor cukup membuat riuh suasana di pelabuhan yang dijadikan tempat sandarnya kapal pesiar itu.
Ketika itu Kamis, 28 April, hari ketiga berlangsungnya SMF 2016, atau hari keempat saya sudah di Pulau Weh.
Menunggu Motor 5 Jam!
Saya ke Sabang selain menikmati festival tahunan itu, juga ingin santai-santai. Karena Sabang kapan saja dikunjungi selalu “Sabang alias Santai Banget”.
Pada Senin pagi, saya pergi dengan kapal cepat, sementara motor diangkut dengan kapal lambat.
Caranya, motor titip sama petugas pelabuhan (dari ASDP), bayar Rp50 ribu. Tarif itu sudah include tiket kendaraan dan jasa petugas. Cukup minta kontak dia untuk komunikasi, jangan pula ditinggal di pelabuhan nanti.
Jam setengah 10 saya berangkat. Tak sampai satu jam kemudian sudah sampai di Balohan. Sayangnya, kapal lambat baru meninggalkan Pelabuhan Ulee Lheue jam 2 siang!
Seharusnya saya nitip kendaraan di kapal lambat yang jadwal jam 8 pagi. Hanya, ketika saya dan kawan-kawan tiba di pelabuhan, feri itu baru saja bertolak. #BestExperienceGuys
Tahulah bagaimana jengkelnya, kami harus menunggu di Balohan mulai jam 11 siang hingga jam 4 sore. Lima jam yang membosankan saya habiskan di sebuah warung makan nan teduh. Bahkan sempat dua kali tertidur di situ. Haha.
Yacht Tontonan Baru
Malam pertama, kami ikut menghadiri Gala Dinner di Kantor BPKS. Bareng tamu asing yang juga yachter. Mereka diundang panitia untuk meramaikan SMF 2016. Dan saya sudah melihat pesona Sabang yang berbeda tadi sore di Teluk Sabang.
Di air yang tenang, sejumlah yacht dengan tiang-tiang menjulang, tak beregerak oleh angin. Kecuali boat nelayan dan awan yang berarak mengikuti pergantian suasana dari sore menuju senja.
(FYI. Selama SMF 2016, ada 19 unit yacht hadir, yaitu Morning Star, Aku Ankka, EN Pointe, SY Shadowfax (AS), Swift, Storm, SY Manta, Bernacle C (Inggris), Thorfinn, ZOA, Dream Dancer (Australia), Kattum, La Louipiote (Perancis), Jenain, Calypso (Afrika Selatan), Cest Le Vent, SY Spailpin (Malaysia), Mariposa (Jerman), dan Revenson.)
Siluet kapal layar wisata itu cukup membuat saya terpesona, ditambah pantulan sinar lampu dari bangunan di tepi pelabuhan.
Malamnya, para penghuni yacht itu dijamu makan malam dengan menu ayam tangkap, dan beberapa tembang Western dan Dangdut yang dibawakan band lokal. Genre terakhir membuat beberapa tamu asing ikut maju bergoyang di muka panggung.
Snorkeling sampai Lupa Dijemput
Selasa pagi, saya melampiaskan rindu snorkeling di Pulau Weh, untuk ke sekian kali. Dari hotel di Kota Bawah, saya dan dua teman menuju Iboih, ingin menyelam (permukaan) di perairan Rubiah Sea Garden.
Kami menyeberang dari Pantai Teupin Layeue, sewa boat kayu, ke barat Rubiah. Tapi tak ada siapa-siapa disana. Gelombangnya pun kencang, terpaksa kami harus seberang bukit untuk snorkeling di sebelahnya, yang ramai oleh wisatawan meski di hari kerja.
Beli indomie rebus–tips yang sangat mainstream–kami mengapung di halaman pulau. Ikan-ikan itu sudah dibikin manja oleh turis.
Belum saya ruahkan indomie dari kemasannya, ikan itu sudah duluan menciduk hingga berlubang. Saking laparnya. Tapi bolehlah, itu bikin saya bermain dengan ragam ikan yang tak saya tahu namanya.
Nun di bawah sana, tak ada lagi terumbu karang cantik. Hanya ada beberapa bangkai vespa, mobil, tugu KM 0 mini, dan beberapa objek lainnya yang sengaja ditenggelamkan untuk menggantikan kekosongan. Tapi belum menjadi sarang biota laut, masih belum penuh ditumbuhi tanaman laut.
Bosan di di situ-situ aja, saya ajak mereka snorkeling di luar zona aman. Ke selatan dermaga. Saya penasaran dengan “katanya” ada gerombolan nemo.
Kami menyisir pinggiran pulau. Di kedalamannya, terlihat susunan batu yang penuh biota laut, dan koloni bulu babi. Sepertinya, bulu babi itu menyerang saya dengan racun, ya, seluruh tubuh yang terbuka terasa gatal setiap berlalu di atas mereka.
“Sarangnya masih ada, tapi nemonya tak ada lagi,” ujar seorang pemuda dari darat, ketika kami putuskan kembali. Huuuu, gagal deh.
Usai istirahat siang, kami snorkeling lagi hingga sore. Sampai puas, sampai gosong oleh terik sinar matahari. Sampai akhirnya jaringan seluler tiba-tiba hilang.
Kondisi itu membuat kami harus menunggu dijemput hingga satu jam oleh tekong boat, sebab sinyal Handy Talky—yang sejatinya menggantikan fungsi ponsel jika kehilangan sinyal—justru ikut padam. Terpaksa dikabari ke para tekong di Iboih sana melalui tekong yang pertama datang. #Besok2BawaHTSendiri
(Tak) Lezatnya Sate Gurita
Selain kangen snorkeling, saya pun ingin melahap kembali sate gurita, kuliner endemik Sabang. Terakhir, saya menyantap menu yang sanga lezat itu pada 2014 di Pusat Jajanan Selera Rakyat (Pujasera).
Kala itu saya bersama fotografer Aceh Tourism Magazine dibuatkan dua menu sate gurita yang cukup maknyus. Daging sotongnya besar-besar dibaluri dengan saus kacang dan saus padang, plus potogan lontong dan taburan bunga bawang goreng.
Sebaiknya dibaca: Penggoyang Lidah Khas Pulau Weh
Nyammy… Tapi ketika di malam kedua SMF 2016, saat kami dijamu makan sate gurita di Taman Wisata Kuliner dekat arena Sabang Fair, sama sekali tidak seperti pengalaman saya sebelumnya di Pujasera.
Selain dagingnya kecil-kecil, juga kurang gurih dan lezat. Cepat habis lagi. Apa karena waktu itu kami datang untuk mempromosikannya di majalah wisata? Entah. Pengalaman memang tidak pernah sama saat mengunjungi tempat yang sama. #CatatItu
Di Pulau Jaya Melacak Kapal Asing
Snorkeling sudah. Sate gurita sudah. Kerinduan saya yang ketiga dan paling maha adalah menikmati kopi pagi di Pulau Jaya.
Di mana lagi itu? Bukankah di perairan Sabang hanya ada Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo?
Iya! Pulau Jaya hanyalah nama warung kopi tradisional di Gampong Ie Meulee. Kedai itu pertama kali saya kenal pada September 2015. Di mana dalam seminggu, hampir setiap pagi saya sarapan di situ dengan teman baru.
Dan di sela-sela bergaungnya SMF 2016, nama Warkop Pulau Jaya selalu menggema di telinga saya. Bahkan di hari kedua, saya sudah memulai pagi di warung itu. Kemudian kembali ke sana bersama teman lain lagi di hari keempat.
Kami bertiga, duduk di belakang kedai yang menghadap Selat Malaka itu, dengan dermaga kecil tempat berlabuhnya perahu nelayan.
Berbaur dengan para nelayan Sabang di warkop itu cukup interaktif. Kami bertukar pikiran. Tentang pelayaran.
Kalau lihat ke laut sana memang hanya nampak satu kapal saja, tapi sebenarnya ada banyak kapal di seberang sana,” ujar seorang di samping kami.
Ditunjuknya garis horizon yang tampak cukup dekat dari tempat kami duduk di bangku kayu.
Kelihatan satu kapal kargo bergerak lambat di garis datar sana. Dia bilang ada kawannya yang pernah buka satu aplikasi di internet dan bisa mengetahui semua kapal-kapal yang sedang berlayar di laut lepas.
Saya tahu, yang dimaksudnya adalah jalur pelayaran internasional Selat Malaka, salah satu rute sibuk di Zona Ekonomi Eksklusif bagian barat Indonesia, yang terhubung dengan Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT GT).
Aulia, lekas saja Googling di ponselnya dan menunjukkan kami website (aplikasi) yang dimaksud pria Sabang itu. AIS Vessel Tracking.
Kapal sekitar beberapa mil di hadapan kami ialah kapal kargo dengan panjang sekitar 260 meter. Saya lupa namanya karena tidak di-screenshot saat itu.
Dan ada banyak kapal lain lagi mulai dari Singapura hingga ke Thailand, dengan warna hijau (kargo), merah (tanker), biru muda (tug), oranye (pemancing), ungu (kapal pesiar), dan biru pekat (kapal penumpang) seperti KMP BRR yang biasa mengangkut penumpang dan kendaraan.
Selebihnya, kalau mau lihat pergerekan kapal di perairan dunia secara live saat ini, kamu bisa buka website itu dan pelajari sendiri. Sekarang juga.
Cerita Berbeda Gapang, Guha Sarang, dan KM 0
Rabu, kami hanya ingin jalan-jalan. Paginya menuju Dermaga Marina Lhok Weng, tempat bersandarnya kapal yacht.
Enam dari 19 yacht yang hadiri SMF 2016 sudah bersandar di dermaga khusus kapal layar wisata itu dan tersembunyi pada satu teluk yang diapit Kawasan Wisata Iboih dan Gapang.
Kami menyusul mereka yang kemudian diangkut ke Iboih. Di sana, para tamu asing dijamu makan siang. Kami tidak. Akhirnya pelesiran ke Pantai Gapang yang sepi.
Gapang adalah primadona Sabang sebelum tsunami 2004. Tapi setelah itu, Iboih yang menjadi pusat keramaian hingga hari ini. #SepertinyaAdaYangSalahUrus
Namun sepi bukanlah penyesalan. Ia sejatinya suasana paling nyaman untuk bersantai. Meski kotor, lengkungan Pantai Gapang dengan laut biru dan teduhan pohon ketapang, membuat kami cukup terlipur lara.
Usai makan siang, saya usul kawan-kawan ke Guha Sarang. Terkejut saya, kebun milik Bang Bit sudah warna-warni. Ini kali ketiga saya ke kebunnya, tempat wisatawan memulai treking ke Guha Sarang jika tidak pergi dengan boat.
Sudah banyak ayunan dan bangku kayu berjejer di tanah lapang menghadap lautan yang dibatasi tanjung-tanjung. Biru kolam, beh, damainya panorama. Ditambah pula kedai untuk mengisi perut pengunjung.
Tahun lalu, saya dua kali ke kebun Bang Bit. Pertama sempat turun ke Guha Sarang sendirian dengan tali melalui lereng bukit: menakutkan. Kedua, hanya bersantai di halaman kebunnya yang diuntungkan dengan panorama aduhai.
Sebaiknya dibaca: Ekowisata Sabang yang Menantang
Bang Bit menyapa saya. “Kalau ada investor, ajak invest di sini. Nanti saya akan buat rumah pohon juga di sana,” kata pria bernama asli Syahrizal itu saat saya hendak turun di jalur yang sudah dibeton.
Dia selalu mengingatkan saya untuk ajak investor ke kebunnya. Insyaallah, balas saya. Trek di bawah sana sudah lebih bagus: rapi dan bersih, juga disediakan tong sampah di sepanjang jalur, menggalakkan pengunjung tak buang sampah ke laut.
Dibanding sebelumnya, kali ini saya bisa melihat mulut Guha Sarang lebih dekat. Sebab ombak tak sedahsyat akhir tahun. Saya bahkan sempat mendaki ke salah satu bongkahan batu besar bekas longsor, tempat biasanya pengunjung alay selfie. #Ikut2anAlay
Tapi memang, sudut pandang dari puncak batu ini memang ciamik. Jelas terlihat empat mulut gua di jauh, dan perairan di sekitar objek Guha Sarang.
Satu lagi yang berbeda, saat pulang, telah disediakan pula rute baru bagi yang suka tantangan panjat tebing. Di lereng bukit yang vertikal nan terjal, kami terpanggil memacu adrenalin, menaiki tebing dengan tambang. Elevasi lerengnya cukup curam. Tapi mengasikkan begitu sampai di puncak. #BahkanAdaYangTumbang
Keluar dari Guha Sarang, kami tak sia-siakan kesempatan melihat kondisi kekinian Tugu KM 0 yang sedang direnovasi.
Ada banyak yang berubah di puncak sana. Jalur masuk sudah dialihkan ke jalur pulang. Kedai suvenir juga sudah dipindahkan ke trek pulang. Begitupun warung-warung, tak ada lagi yang tepat di depan tugu menghadap laut.
Sunset sore itu cukup memanjakan mata. Barulah kami kembali ke kota.
Kamis, esoknya, sebelum kembali ke Banda Aceh, kami menghabiskan waktu dengan menyaksikan lomba permainan rakyat di lapangan Play Group, di Kota Atas, yang mirip acara Tujuh Belasan. Ada panjat pinang, tarik tambang, lompat karung, hingga balap bakiak.
Saya cukup enjoy, bukan karena digelar SMF 2016, melainkan karena adanya pengalaman yang berbeda setiap kali ke Sabang.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂
Duuuh bang makmur.. Ini blog kok dah kayak website okezone… Tulisan ok tapi pake part satu sampe enam hahaha
Haha, tes Bang Bro, rupanya ga efektif ya, macam sinetron jadinya? Haha.
Oke deh ntar kita stel balek. Thanks beh 😀
Baru denger ada namanya sate gurita.. gimana rasanya ya ? hmm
umumnya sate dari hewan ternak
Pasti enak dong Mas. Gurih dan agak kenyal digigit, rasanya tergantung bumbu yang kita pesan. Wajib dicoba kalo nanti sempat ke Sabang. 😀
belum pernah makan sate gurita, orang guritanya aja belum pernah hehehe
Harus dicoba Mas kalau ke Aceh. Tapi coba makan guritanya aja dulu, hehe